Informatika Mesir
Home Opini STIFIn: Menjawab Tantangan Fatalisme dan Free-will

STIFIn: Menjawab Tantangan Fatalisme dan Free-will

Ilustrasi STIFIn (Sumber: http://universityofcalifornia.edu)

oleh: Rizqi Muhammad Moi

Fatalisme adalah sebuah pemikiran yang meyakini bahwa semua manusia sudah dikuasai takdir Tuhan secara mutlak dan tidak bisa mengubahnya. Menurut fatalisme, semua ketentuan manusia sudah terkurung dalam takdir Tuhan. Manusia mutlak tidak berdaya untuk melakukan sesuatu, baik menentukan perbuatan keseharian, atau masa depannya, atau bahkan hasil dari upaya yang telah dilakukannya. Akibatnya, orang yang meyakini pandangan sedemikian rupa cenderung akan malas dan menahan diri untuk melakukan perubahan maupun perbaikan.


Sebaliknya, free will adalah sebuah keinginan untuk memilih di antara berbagai rencana tindakan yang berbeda yang mana memungkinkan untuk dilakukan oleh manusia secara mutlak. Free will juga acap kali disebut dengan “kehendak bebas”, atau kemauan bebas. Menurutnya, manusia adalah Tuhan bagi dirinya sendiri, sehingga Tuhan tidak ikut andil dalam ranah kehidupan manusia. Biasanya, hanya tindakan-tindakan yang dikehendaki secara bebas-lah, yang dipandang layak untuk dibenarkan atau dipersalahkan, karena indikator utama kebenaran atau kesalahan suatu hal adalah manusia.


Dalam agama Islam, sikap ghuluw itu dilarang. Ghuluw dalam konteks berislam maknanya adalah sikap keras, kaku, berlebih-lebihan, dan melebihi batas yang telah ditentukan oleh syar’i. Hal ini menegaskan bahwa tidak melakukan apa-apa karena kepercayaan manusia terhadap takdir Tuhan yang mutlak (fatalisme) atau tidak mengikutsertakan Tuhan dalam setiap langkah (free will) itu merupakan pandangan hidup yang salah. Oleh karenanya, perlu adanya pendirian teguh dari setiap individu manusia agar tidak terjerumus di kedua pandangan salah tersebut. Salah satu bentuk usaha dan upaya untuk melakukannya adalah dengan melakukan tes STIFIn.


STIFIn merupakan akronim dari Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling, dan Instinct. Ia merupakan sebuah konsep yang membagi otak manusia menjadi 5 belahan dan 2 lapisan otak. Tes ini dilakukan dengan cara memindai 10 sidik jari tangan. Dengan tes STIFIn, kita dapat mengetahui belahan otak dominan dan lapisan otak yang dominan. Kombinasi informasi keduanya ini dapat memberikan banyak sekali informasi mengenai sisi dan jati diri manusia, mulai dari karakter unik dan istimewa yang berpola hingga dorongan motivasi mereka.


Lantas kemudian, apakah manusia terikat dengan takdir sehingga tidak bisa memilih? Atau justru bebas memilih dan tidak terikat takdir? Mengapa ada beberapa manusia yang sangat suka membantu, hingga dia melupakan dirinya sendiri? Sedangkan beberapa manusia lain cenderung hanya memperhatikan masalahnya sendiri. Mereka suka mencari ketenangan dan tidak sungkan untuk meninggalkan lingkungan yang kurang nyaman untuk dirinya.


Mengapa ada beberapa manusia yang mudah menghafal suatu hal, memperhatikan sebuah hal kecil yang detail, dan mempunyai energi yang banyak? Sedangkan beberapa manusia lain tidak demikian. Mengapa ada beberapa manusia yang sangat kritis dalam berpikir, mudah melihat mana yang benar dan salah, cenderung hanya berbicara seperlunya, serta dilahirkan dengan kepadatan tulang yang lebih rapat dibandingkan yang lain? Sedangkan yang lain cenderung tidak banyak berpikir dan asal berbicara.


Mengapa beberapa manusia yang merasa ide dalam kepalanya selalu berdatangan tanpa henti, memiliki postur badan yang lebih panjang daripada kakinya karena panjangnya usus dalam perutnya, namun terkadang terlihat agak lambat dalam mencerna informasi? Sedangkan yang lain bisa menangkap informasi tersebut dengan cepat. Mengapa beberapa manusia yang cenderung suka banyak berinteraksi dengan lawan bicaranya, melakukan pendekatan jauh ke dalam pribadi manusia lain, bahkan memotivasi manusia di sekitarnya, namun dilahirkan dengan bahu yang lebih lebar dari pinggulnya karena kapasitas paru-paru yang lebih besar? Sedangkan beberapa manusia lain cenderung tidak peduli dengan hal-hal pribadi manusia lain.


Allah Swt. Maha Adil, sehingga Allah Swt. meminta pertanggungjawaban dari nikmat yang sudah diberikan-Nya. Manusia yang memiliki fungsi panca indera yang baik, kelak di akhirat nanti akan dipertanggungjawabkan apa yang sudah ia lakukan dengan panca inderanya yang berfungsi dengan baik tersebut. Sedangkan manusia yang belum diberi nikmat panca indera yang baik, ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban dari matanya, karena hal tersebut berada di luar kuasa manusia.


Manusia diberikan kebebasan dalam memilih berbagai hal di kehidupannya bersamaan dengan ketetapan yang sudah ditakdirkan Tuhan. Allah Swt. itu Maha Mengetahui, mengetahui sebelum hal tersebut ada hingga apa yang terjadi setelah hal tersebut tiada. Oleh karenanya, manusia diharuskan untuk melakukan hal-hal baik sesuai porsinya masing-masing sesuai nikmat yang sudah diberikan.


Kita semua sudah dilahirkan sepaket. Satu paket yang berisi hal-hal yang bisa mendukung kita dalam melakukan suatu hal, beserta pilihan-pilihannya. Seperti halnya diberikan energi yang banyak, maka pilihannya adalah mau digunakan dalam kebaikan, atau dibiarkan saja habis tanpa adanya manfaat yang dirasakan. Diberikan nikmat berupa ide-ide yang tidak ada habisnya, maka pilihannya adalah menuangkan dan menggarap ide tersebut, atau mengabaikannya begitu saja dalam kepala?


Di dalam Al-Quran surat Ibrahim ayat 7 Allah Swt. berfirman:
﴿وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ﴾
Artinya:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku amatlah sangat pedih.”

Dari ayat ini, kita dapat memahami, bahwa Allah Swt. akan menambah nikmat manusia yang bersyukur atas apa yang Allah Swt. berikan kepadanya, serta memberi peringatan kepada yang mengingkari nikmat-Nya bahwa azab Allah Swt. sangatlah pedih.


Apakah setiap dari kita sudah terlahir dengan paket Sensing, Thinking, dan lain sebagainya seperti yang sudah diklasifikasi oleh STIFIn? Iya. Mengapa STIFIn bisa mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan nikmat Allah Swt. dalam diri manusia ini? Tentunya karena usaha yang bisa manusia lakukan, seperti halnya melakukan penelitian. Konsep STIFIn tidak sembarangan hadir, akan tetapi melalui proses yang panjang. Pembentukan konsep, penerapan konsep, evaluasi, serta beberapa proses lainnya hingga terlahirlah STIFIn.


Pertanyaannya, sudahkan kita mengetahui apa saja nikmat yang sudah diberikan-Nya? Sudahkah kita memaksimalkan nikmat tersebut? Sudahkan anda yakin dengan jati diri anda sendiri? Bila belum demikian, STIFIn bisa membantu biidznillah. Tes STIFIn merupakan salah satu bentuk usaha untuk memaksimalkan potensi diri kita sebagai bentuk kesyukuran atas nikmat Allah Swt. sehingga kita bisa lebih fokus dalam menggunakan bakat alamiah diri. Dengan demikian, mensyukuri nikmat-Nya akan terasa lebih mudah setelah mengetahui hasil tes STIFIn.


Editor: Muh. Nur Taufiq al-Hakim

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad