Informatika Mesir
Home Suara Mayoritas Secercah Noda dan Bumbu di Balik Kewajiban Masisir Untuk Jadi Ulama

Secercah Noda dan Bumbu di Balik Kewajiban Masisir Untuk Jadi Ulama

Ilustrasi: Google
Saat ini, menurut catatan Konsuler KBRI Kairo, Mahasiswa aktif Indonesia di Mesir kini telah mencapai 7518 orang. Sebagian besar dari mereka tentunya menempuh studi keislaman di Al-Azhar yang orientasi besarnya adalah mencetak ulama. Akan tetapi apakah semuanya harus menjadi ulama? bukanlah suatu pertanyaan mudah untuk dijawab.
Berbagai macam jawaban dari berbagai macam komponen Masisir yang “katanya” kaya akan latar belakang telah dikemukakan. Tentunya, respon dan pandangan mereka akan pertanyaan itu akan sangat berwarna-warni layaknya cahaya yang melewati prisma. Jika specktrum cahaya hanya memiliki tujuh warna dasar, maka spektrum Masisir jauh lebih beragam daripada cahaya.
Namun tentunya, tak dapat dipungkiri, belajar dan memperdalam ilmu agama merupakan tujuan utama bagi setiap mahasiswa yang melangkahkan kakinya untuk berkuliah di al-Azhar. Namun, tak bisa disangkal juga, dinamika kegiatan pelajar Indonesia di Mesir begitu luas dan beragam. Mulai dari talaqqy, organisasi, hinga merambah ke dunia bisnis. Tidak sedikit di antara mereka juga memilih untuk menikah dan membangun keluarga di usia muda. 
Timbul pertanyaan di benak kita, apakah kita dituntut untuk fokus menimba ilmu saja atau malah bebas mengembangkan sayap melakukan berbagai hal bermanfaat sebagaimana yang kita suka?
Fenomena Nikah Muda
Fenomena nikah muda di kalangan Mahasiswa Indonesia di Mesir bukan lagi sebuah isu yang mengejutkan. Tak terhitung jari lagi Masisir yang sudah memilih untuk memiliki pasangan di sela tanggung jawab kuliahnya. Seorang mahasiswa, yang memiliki tugas utama untuk menuntut ilmu, harus membagi prioritas dengan keluarga yang juga utama. 
Rona Rohmana, salah seorang aktivis nikah muda yang sempat menjadi pembicara di sebuah seminar nikah muda yang diselenggarakan salah satu organisasi Indonesia di Mesir berujar, “Menikah adalah tentang kesiapan fisik dan mental.” Baginya, menikah tidak terikat usia. Tolak ukurnya adalah kesiapan. Adalah hal yang sangat wajar dan sah, jika seorang yg sudah remaja, (16+) melakukan pernikahan. 
Dia menambahakan, kesuksesan sebuah pernikahan ada pada kesiapan kedua pasangan untuk berkomitmen. Baik komitmen untuk saling menjaga, mendengar, melengkapi, menasehati maupun komitmen untuk sama sama belajar menjadi lebih baik dalam mengarungi bahtera pernikahan yg penuh dengan cobaan. 
Seseorang yang menyandang status mahasiswa sejatinya memiliki prioritas untuk berkuliah. Untuk menyeimbangkan antara kegiatan perkuliahan dan kewajiban mengurus rumah tangga, Rona berpendapat bahwa pada hakikatnya, sebelum menikah seorang mahasiswa sudah memiliki banyak tanggungjawab, dan disadari atau tidak, tanggungjawab tersebut tidak terbatas dalam belajar saja. Maka, pernikahan dalam hal ini akan membimbing sesorang menjadi lebih dewasa dan bijak dalam menentukan prioritas.
Mayoritas remaja memiliki kondisi psikis yang belum stabil. Tekanan datang dari lingkungan, teman-teman maupun diri sendiri. Hal ini tentunya menjadi soal yang rancu dan rawan untuk sebuah pernikahan di usia muda. Rona beranggapan bahwa usia tidak bisa menjadi satu-satu nya tolak ukur kesiapan seseorang dalam pernikahan. Untuk menjadi siap, baik laki-laki dan perempuan, selayaknya mempelajari tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai suami dan istri, memahami tugas istri / suami dalam berumah tangga, mengetahui konsekuensi dari sebuah pernikahan, meyakini bahwa segala apa yg terjadi adalah kehendak Allah (memiliki keyakinan pada Allah). 
Keseimbangan adalah kunci
Mengerjakan dua hal dalam satu waktu memang bukanlah sebuah ketidakmungkinan. Namun kemampuan bagaimana  membagi dan mengatur waktu lebih dari segalanya. Rizki Aulia, mahasiswa jurusan Syariah Islamiyah yang sekaligus pemilik Borneo Resto menjadi salah satu buktinya. Setelah sebelumnya bergelut di bidang travel di Saudi, ia memutuskan untuk memasuki bisnis kuliner di mat’am (warung makan) di Mesir.
Tak hanya itu, Ia pun juga aktif di bisnis kargo baik laut maupun udara. Ia mengaku bahwa dari awal tujuan utamanya di Mesir adalah untuk belajar dan juga bisnis. Dan Ia membuktikan bahwa kunci keberhasilan dari keduanya adalah kemampuan kita dalam membagi waktu. 
Banyak Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) yang mengeluhkan tentang kurangnya kemampuan mereka dalam membagi waktu, padahal sejatinya apabila kita mampu untuk mempergunakannya dengan baik kita semua bisa total dalam hal yang kita tekuni, terlepas dari beberapa kesibukan yang kita jalani entah akademik atau nonakademik.
Rizki mengaku bahwa kunci dari kesukesannya adalah fokus. Ketika berbisnis, maka ia memfokuskan diri untuk bisnis, juga ketika belajar Ia memfokuskan diri untuk belajar. Selain setiap harinya Ia meluangkan waktu untuk bisnis, Ia juga memiliki jadwal mengaji atau talaqqi setiap minggunya. Sedangkan untuk kuliah, Ia masuk mata kuliah yang dianggap agak sulit.
Masisir jadi ulama, haruskah?
Sebagai seorang organisatoris di kalangan Masisir, dengan penuh keyakinan, Najid Akhtiar mengutarakan pandangannya bahwa tidak semua Masisir itu mampu jadi ulama. “Jadi ya tidak harus semua Masisir itu jadi ulama…” Tidak sampai di situ saja, ia juga menjelaskan satu poin besar dalam pandangannya tersebut. “Tapi tentu saja, ketika kita sudah mendaftarkan diri untuk menempuh perkuliahan di al-Azhar, tentunya kita wajib untuk menguasai materi perkuliahan yang telah diajarkan. Dan memang perlu kita sadari, bahwa para Masisir ini sudah memupus harapan ribuan orang untuk bisa menempuh studi di Mesir yang bahkan mungkin dari ribuan orang tersebut ada ratusan orang yang memang benar-benar mampu untuk menjadi ulama,” ungkap Sekretaris Jendral PPMI periode 2018/19 ini. 
Karena memang tidak semua Masisir mampu menjadi ulama, ia pun menyetujui bahwa Masisir ini perlu diberi kebebasan dalam menentukan “gaya hidupnya” di Mesir ini. “Kita berikan kebebasan kepada Masisir untuk memilih alur hidupnya selama menempuh studi di Mesir. Kita bebaskan mereka untuk jadi apa saja ketika nanti kembali ke Indonesia. Mau jadi diplomat, pebisnis dan lain-lain. Namun kemudian tidak lantas meninggalkan orientasi utamanya ke Mesisr. Dengan titel “Lc” yang telah tersematkan itu, mereka harus tetap menguasai seluruh materi perkuliahan yang ada di al-Azhar dan mampu menyampaikannya kembali sepulangnya ke Indonesia,” ujar Najid. 
Akademik sebagai orientasi utama Masisir
Mayoritas Masisir menggaungkan bahwa akademik adalah orientasi utamanya, tak terkecuali bagi Najid Akhtiar. “Kalau ditanya orang-orang tujuan ke Mesir mau ngapain, gak mungkin jawab mau bisnis-an atau yang lainnya. Jelas orang akan menjawab untuk belajar dan menimba ilmu di al-Azhar,” Namun ia sendiri tidak mengungkiri, bahwa memang seiring derasnya aliran waktu, para Masisir ini pun mulai mengenal “dunia lain” dari dinamika kehidupan Masisir. 
“Kita sama sekali tidak melarang bagi siapapun untuk terjun ke sisi lain dari dunia akademik. Kita ambil contoh dari dunia organisasi. Banyak saya temui orang yang hanya fokus di akademik dan kurang bersosial dengan orang banyak. Pada akhirnya, mereka sedikit kesulitan dalam menyampaikan ilmunya. Justru di organisasi itulah kita belajar untuk bersosialisasi, memiliki jama’ah dan saling mengenal satu sama lain dengan berbagai macam latar belakang yang berbeda. Di sana juga kita belajar bagaimana mengorganisir apa-apa yang akan kita jumpai di Indonesia nanti misalnya saja jika menjadi pemilik pondok.” jelas Najid.
“Begitu pula dengan bisnis. Itu penting juga. Kenapa? Yang akan memperbaiki perekonomian umat ini kalau bukan kita siapa lagi. Kita lihat di Indonesia sekarang, dunia bisnis benar-benar dikuasai oleh pihak asing yang notabenenya adalah non-muslim. Dimana gaung para pebisnis muslim? Saya tidak bermasalah dengan itu. Tapi kembali ke awal, posisi akademik sebagai orientasi utama Masisir tidak dapat dilengserkan,” tambah Najid, dalam penjelasannya.
Najid sendiri mengutarakan kekagumannya yang luar biasa kepada beberapa senior Masisir yang kini telah berkiprah di Indonesia. Dengan berbagai macam profesi yang mereka geluti, mereka tetap mampu untuk dapat mengemban amanah nan tinggi dari al-Azhar. “Saya benar-benar salut karena meskipun mereka ada dari mereka yang menjadi diplomat, pebisnis dan lain sebagainya, jika ditanyakan tentang suatu ilmu, mereka dapat memuaskan masyarakat dengan jawaban dan penjelasannya yang sesuai dengan apa yang telah mereka pelajari di Azhar,” tutur Najid. 
Solusi penyimpangan orientasi utama Masisir
Bak gayung bersambut, Najid Akhtiar menawarkan sebuah solusi konkret tentang problematika yang seringkali menggeser orientasi utama Masisir ini, yaitu dengan pengoptimalan fungsi organsisasi, “Kita tidak bisa serta merta menjadikan PPMI sebagai tonggak terdepan dalam mengatasi hal tersebut. Namun tidak lantas PPMI lepas tangan juga. PPMI selama ini selalu memberikan porsi yang tepat untuk mengembangkan prestasi akademik Masisir pada umumnya. Dalam hal ini, peran senior di kekeluargaan, almamater, afiliatif dan lainnnya dirasa lebih utama dan harus selalu digencarkan untuk dapat membimbing adik-adiknya secara langsung untuk selalu menjadikan akademik sebagai orientasi utamanya di Mesir,” jelas Najid.

Najid sendiri menjelaskan betapa gencarnya tradisi saling menasehati di Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA). Walaupun dengan jumlah keanggotaan yang tergolong banyak dan juga termasuk dalam lima besar jumlah keanggotaan kekeluargaan Nusantara di Mesir, namun kekompakan, kesolidan dan ikatan silaturahim terus terjalin dengan eratnya. Darinya, timbul budaya saling mengenal, mengingatkan, menasehati dan membimbing ke arah dan tujuan yang semestinya diraih oleh seorang Azhari. “Adapun bagi kawan-kawan yang kita rasa di luar jangkauan kami, tetap kami selalu terus berusaha menariknya kembali ke arah yang benar. Kita selalu tanyakan perkembangan akademiknya.,” tutur Najid kepada salah satu kru Informatika. 
            
Bukan hanya pengajaran, tapi juga Pendidikan
Faiz Taufik, salah seorang pegiat bisnis travel tidak memungkiri jika belajar merupakan sebuah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Akan tetapi apa yang bisa kita dapatkan di Mesir bukan hanya pengajaran, di sini ada pendidikan. Dari Gontor beliau belajar bahwa pendidikan harus diutamakan sebelum pengajaran. Dan menurut pengakuan beliau, banyak hal yang bisa beliau dapatkan dari travelling.
“Pendidikan yang diutamakan. Pendidikan ini tidak mencakup hanya pengajaran, dari semua aspek. Alhamdulillah dari travel ana tahu segala hal; tau perbedaan karakter orang arab dan kita, tau pentingnya mujamalah dengan orang mesir, ilmu sejarahnya banyak, ziarah terus lagi, ” kata beliau kepada kami.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah dengan menggeluti dunia travel akan mengurangi prestasi kita di ranah akademik? Dia menjawab, “Waktu di travel alhamdulillah nilai ana bagus, lebih bagus dari orang yang ke kuliah terus malahan. Kenapa ana begitu? Karena ana fokus. Waktu travel, travel. Waktu ujian, ujian.” Beliau juga menjelaskan bagaimana menyiasati agar travel tetap jalan walaupun ditinggal fokus ujian. Di travel, beliau tidak mengurus semuanya sendirian. Beliau juga dibantu oleh beberapa orang guide yang tetap bisa menjalankan kegiatan travel ketika beliau tinggalkan untuk serius belajar sebelum ujian.
Menurut Taufiq, adalah sebuah kebohongan jika kita yang masih muda ini kesulitan mengatur waktu. “Gak bisa ngatur waktu? Mustahil, kita masih muda. Kalau udah tua, ada anak ada istri silahkan bilang begitu. Tapi kalau masih muda gak ada tanggungan kita. Tanggunan kita, yang pertama kepada Allah ketika itu. Yang kedua, kepada orangtua. Masih dua tanggungan kita. Kepada Allah untuk ibadah, kepada orangtua waktu buat belajar. Ana tambah tapi yang ketiga, tanggungan buat diri sendiri. Al-Ma’isyah, kehidupan untuk cari uang.”
Taufiq juga menekankan pentingnya memiliki sosok yang senantiasa mendukung, menguatkan dan mengingatkan kita untuk mencapai apa yang kita inginkan. ia bercerita bagaimana awal mengonsep usaha travel yaitu dengan berkonsultasi kepada sang kakak. Sang kakak juga selalu mengingatkan adiknya agar tak lalai dalam belajar. Tak lupa pula restu orangtua menjadi bekal utama beliau dalam melangkah. Ketika sudah berkeluarga, sosok pendamping hidup merangkap tugas bak asisten pribadi, membantu beliau dalam merencanakan langkah ke depan dan mempersiapkan segala yang diperlukan.
Sementara terkait kegagalan dalam menyeimbangkan kegiatannya, Taufiq berujar mereka telah “hanyut” di arus kegiatannya, “Karena mereka terlanjur sayang, lebih sayang kesana. Lebih sayang ke travel, kayak terhanyut di sungai. Kalau sudah terhanyut ke dunia sana, bahaya. Makanya pintar-pintar membagi,” ia mengingatkan. Menurutnya bisnis travel menempati nomor ke dua setelah bisnis warung makan yang berpotensi “menghanyutkan” Masisir. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, ia menekankan pentingnya memiliki planning yang rapi dan tersusun jelas, “Intinya planning kalau tidak mau terhanyut. Prinsip pribadi ana harus ada planning; harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan harus ada. Kalau ana, ana tambah lagi lima tahunan,” imbuhnya.
Mau Dijadikan Noda atau Bumbu?
Dari semua pemaparan yang telah diungkapkan, mungkin bisa kita amati secara seksama, betapa berdiasporanya pandangan, pemikiran, dan juga gagasan yang terlontarkan dari masing-masing pihak yang background nya berwarna-warni tersebut. Setiap dari mereka pun seolah-olah menyodorkan suatu solusi konkret yang bisa diadopsi oleh banyak orang. Tentunya, solusi tersebut tidak akan terlepas dari seluk beluk pengalaman yang telah dialami oleh pihak terkait atau bahkan dari pengalaman orang lain yang dekat dengan mereka.
Segala dinamika kegiatan Masisir yang sangat kompleks ini mungkin telah benar-benar menjadi sumber dari keanekaragaman pandangan yang dialami oleh segenap Masisir. Mau dijadikan noda atau bumbu, masing-masing individu berhak untuk memilihnya terlepas dari gagasan-gagasan yang umum digaungkan oleh mayoritas Masisir. 
Reporter: Taufiq, Ikma, Naya, Rayan
Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad