Informatika Mesir
Home Sastra Pergi

Pergi

Sumber; Pinterest/hijab-art
Mataku berkaca-kaca menahan tangis yang sedari tadi tertahan. Tiada satu katapun yang kuucap untuk perpisahan yang tak tau kapan ujungnya. Fahmi mengantarku  ke airport sore ini. Aku pergi untuk menyelasaikan studi magister di negeri  yang konon dijuluki beruang merah. “ra,? Panggilnya sambil memberi secarik kertas yang sedari tadi ia pegang.  “Hati hati! ra, sampai jumpa kembali diranah kita.” Ucapnya ketika aku mau melangkah untuk chek in.
Fahmi hanya mengantar saja. Dia tidak dapat ikut bersamaku, sebab dia juga harus kembali ke Kairo untuk menyelesaikan masternya. Walau sebenarnya dia tidak rela membiarkanku pergi sendiri ke negeri ini, karna muslim di negeri yang akan kutinggali ini tergolong minoritas, juga karna kami baru saja bertunangan tapi jarak seakan menjadi spasi yang teramat jauh diantara kami.
Akhirnya tangis itu pecah setelah aku membaca surat yang berisikan puisi darinya. Itu adalah puisi pertama yang ia tulis untukku. Dia bukan seorang yang lihai dalam bersyair, namun entah mengapa puisi ini berarti dalam bagiku, walau banyak yang berkata bahwa  “puisi itu abu abu” tapi tidak dengan satu puisi yang aku baca kini.
****
Pesawat  terus melintasi laut di sebelah timur Eropa. Di luar jendela, hanya bulan purnama yang terlihat. Di ketinggian delapan puluh ribu kaki dari bumi, purnama terlihat besar dan terang, seperti bisa diraih dari jendela pesawat.  Mataku tidak mengantuk ketika di pesawat.

Mataku berulang kali membaca puisi yang yang Fahmi tuliskan. Aku menyukai setiap huruf huruf nya, dan aku ingin tinggal didalamnya dan puisi Fahmi lah yang menemaniku hingga sampai di Rusia nantinya.
*****
Gumpalan tipis lembut bagai kapas nan putih itu terus turun perlahan dan menempel  di ujung daun jendela kamar, bertemankan sinar ramah mentari yang berhasil mengintip kesela  gorden kamar, menyadarkanku untuk segera melihat keindahan yang ia persembahkan. Aku segera membuka gorden jendela dan benar saja, diluar sana salju tengah menari di udara pagi  dan beberapa orang Rusia tengah sibuk ke hulu hilir memulai aktivitas mereka.  Ya, dan aku masih saja sibuk dengan rintikan salju ini.
Tiba tiba ponselku berdering, benar saja itu telpon dari teman Indonesiaku yang juga sedang menyelesaikan kuliahnya disini. Dia menelponku untuk mengingatkanku bahwa hari ini ada kelas. Walau sebenarnya aku baru saja sampai kemarin tapi harus ikut kelas juga hari ini. Tapi tak mengapa, agar S2 ku segera selesai dan bisa kembali ke tanah air dan menikah dengan Fahmi. “Tidak baik lama-lama tunangan tapi belum menikah,”  kalimat ini yang selalu aku dengar ketika di kampung dulu.
“Krieet,” bunyi pintu terbuka, ternyata itu Marya. ”Ra, hari ini kita ada kelas, tapi aku tidak ke kampus hari ini, tapi tenang ra! kamu  tetap aku antar. Marya memang teman yang baik sejak di bangku  SMA. Hahaha.. iya Maryaa jawabku,,, 
Benar saja, setelah mengantarku, Marya langsung saja pergi meninggalkanku  di depan kampus, sepertinya dia ada urusan. Batinku.
*****
Hampir dua tahun aku di negeri tirai besi ini. Tiada satu haripun tanpa pesan dari Fahmi.  Ia selalu bertanya kabar dan bahkan sekadar menanyakan aku sudah makan atau belum. Dia sebenarnya adalah sosok yang kaku tapi hangat disaat jauh. Fahmi juga mengabariku tentang dirinya yang sebulan lagi akan sidang tesis. 
Sebenarnya dia mengiginkan aku bisa hadir di sidang tesisnya, tapi di bulan itu aku sedang ada penelitian untuk tesisku.

Marya mengajakku mengelilingi Moskow untuk melihat keindahan negara ini sebelum aku pulang keindonesia. Ya, aku dan Marya tinggal di jantung kota Moskow yang terkenal  sebagai salah satu surga kehidupan bebas di dunia. Terkadang aku dan Marya sempat merasa asing disini, merasa paling moralis, diantara masyarakat kota Moskow.
****
Dan hari itu pun tiba. Aku telah sah menjadi master ekonomi terbaik di Rusia. Ada beberapa mahasiswa indonesia sesekali meminta foto denganku dan disusuli juga mahasiwa asli Rusia. Ponselku berbunyi, ada panggilan dari Fahmi, tak salah lagi. Suara fahmi mengucapkan tahniah lewat telepon terdengar bahagia. Kami pun berbincang banyak. Tiba-tiba temanku datang dan menyudahi pe,bicaraanku dengan fahmi. Dia mengajakku pulang bersamanya.
Pukul tujuh pagi, setelah sarapan di apartemen, Marya yang sudah mandi dan rapi datang untuk mengajakku keliling Rusia sebelum aku balik ketanah air katanya. Melihat salju terakhir di negara ini, melihat gadis gadis cantik titisan ratu Rusia.
****
“Braaaaaaaaaaaak!”, suara tabrakan mobil terdengar kencang sekali, dan tak lama setelah itu, beberapa orang  Rusia berkerumun disana, “Mar, Marya panggilku sambil menoleh ke arah posisi pertama Marya berada. Tapi tak kutemui, tiba-tiba seorang Rusia datang menghampiriku, dan memberi tahuku bahwa ada orang Indonesia yang kecelakaan diseberang jalan, sejenak detak jantungku terhenti setelah mendengar kabar itu, dengan tak banyak berfikir, kulangkahkan kakiku untuk menuju arah kerumunan. Dan aku terjatuh tak berdaya dengan apa yang sedang aku lihat kini, tubuh itu terlempar disebrang sana dan basah dibanjiri darah yang masih mengalir dari kepalanya, dan air mata ini tak bisa dibendung.
“Maryaaaaaaa!” teriakku sambil memeluk kepalanya. “Tidak Marya.,, kenapa ini terjadi?” tubuh itu dengan cepat di larikan kerumah sakit.
Dokter spesialis itu datang dengan wajah kecewa kearahku, ”Maaf pasien itu tidak dapat kami selamatkan,” tangisku seketika pecah dan berlari menghampiri Marya yang sekujur tubuhnya sudah ditutupi selimut.
Hari itu juga Marya dimakamkan tepat di jantung kota Moskow.
*****
Cahaya mentari berhasil mengintai jendela kamarku dan membuatku terbangun dari tidurku. Ya, aku sudah sebulan pulang dari Rusia tapi kenangan dengan Marya masih saja bersemayam di ingatanku. Bagaimana dia bisa kecelakaan masih menjadi pertanyaan di kepalaku. Bagaimana tidak, aku hanya meninggalkannya sebentar ke supermarket untuk membeli minuman, dan posisi nya waktu itu masih di belakangku. Tanya ku pada batinku.
“Ra,” seketika suara ibu menyadarkanku dari lamunanku. “Ra, ini, ada telpon dari Fahmi, sini turun  nak!”  “Iya bu,” jawabku sambil menuruni anak tangga. “Ni nak, kata Fahmi dia besok malam terbang dari Kairo ke Jakarta, kata ibu sambil memberi telpon ke arahku, dan benar saja apa yang ibu bilang, suara Fahmi terdengar jelas sekali, lagi mengabariku perihal kepulangannya besok ke tanah air. Juga, dia berbicara perihal pernikahan kami yang akan diadakan seminggu setelah dia berada disini. Dan banyak hal lain yang kami bicarakan.
****
Dua jam lagi pesawat Fahmi mendarat di Indonesia. Kami sekeluarga tengah  sibuk berbenah untuk menyambut kedatangan Fahmi, aku sendiripun bahagia bukan main, dan kini aku merasa menjadi orang yang paling bahagia di hari ini hingga nanti.
Jam sudah menunjukkan pukul 3, harusnya fahmi sudah sampai. Namun hingga kini dia juga belum mengabariku. Aku mulai risau, tapi keluarga masih menenangkanku.
Penantianku terhenti seketika melihat siaran stasiun televisi menyiarkan bahwa pesawat yang terbang dari Kairo menuju Jakarta tidak terdeteksi, pesawat itu hilang sekitar dua jam yang lalu. Tubuh ku lunglai ke lantai, dan sempat tak sadarkan diri beberapa menit. Benar tidak salah lagi itu pesawat yang dinaiki fahmi.
Anggota keluarga semua cemas dan sedih, tapi tetap berusaha menguatkan aku. Rasa sakit mendengar berita ini tak bisa ku pungkiri, jiwaku lemah, tiba-tiba penglihatanku menghitam. Dan benar saja, aku tidak sadarkan diri, dan di larikan kerumah sakit. Hampir dua hari aku disini, tempat ini membuatku semakin tak menemui pijakan. Pikiran ini masih saja tetap sama, mengangap Fahmi baik baik saja. Walau faktanya fahmi telah tiada.
*****
Aku dengan 96 jam bersama penantianku, walau aku tau semua mimpiku untuk hidup bersama Fahmi sudah lenyap bersama hilangnya pesawat Fahmi dua tahun yang lalu. Hari ini untuk pertama kalinya aku katakan, “Aku mencitaimu Fahmi, hari ini,esok hingga nanti.”         
                                                 
Penulis: Nadya Rahma
Editor: Muh. Nur Taufiq al-Hakim

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad