Informatika Mesir
Home Beranda Menyoal Politik Kronisme ala PPMI Mesir

Menyoal Politik Kronisme ala PPMI Mesir

Ilustrasi Politik Kronisme (Sumber foto: JurnalPost.com)

Oleh: Muhammad Alfin Ghozali
(Juara 1 Lomba Opini Kongres PPMI Mesir)

Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia Mesir (PPMI Mesir) merupakan sebuah organisasi induk yang menghimpun para pelajar dan mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir). Sebagaimana organisasi mahasiswa pada umumnya, yang kerap dijadikan tempat belajar politik pragmatis, PPMI Mesir pun demikian. Meskipun pada praktiknya tidak semasif organisasi mahasiswa yang terdapat pada kampus-kampus di Indonesia, namun fenomena tersebut ‘nyata’ adanya. Hal ini dapat kita jumpai misalnya pada masa pergantian presiden PPMI dan pergantian dewan pengurus organisasi. Di mana jika kita cermati, akan kita jumpai sebuah tradisi politik yang kurang etis−untuk tidak menyebutnya kotor−di sana. Lalu, seperti apa fenomena tersebut?

Setiap tahun, menjelang pergantian estafet kepemimpinan organisasi PPMI Mesir, kita melihat para calon presiden (didampingi timsesnya) saling berlomba untuk memenangkan kontestasi pemilu. Namun, permasalahan yang ingin saya angkat bukan pada kegiatan pemilu tersebut, melainkan saat-saat setelahnya. Ketika salah satu calon telah terpilih menjadi Presiden PPMI, ada masa beberapa bulan untuk menyusun kabinet beserta dewan pengurus organisasi. Di sanalah rawan terjadi sebuah manuver politik yang kurang sehat, bisa kita menyebutnya sebagai politik kronisme.

Berdasarkan informasi yang saya dapat dari beberapa kawan, sudah menjadi sebuah tradisi, ketika seorang calon yang pada akhirnya terpilih, pada umumnya akan menunjuk orang-orang dekatnya untuk mengisi jabatan-jabatan strategis di kabinetnya, daripada mempertimbangkan siapa yang lebih kompeten di bidang tersebut. Tindakan inilah yang bisa kita sebut sebagai politik kronisme. Hampir mirip dengan nepotisme. Namun, jika nepotisme merupakan sebuah cara untuk mempermudah akses kepada keluarga dan kerabat untuk memperoleh jabatan, kronisme agak sedikit berbeda. Objek dalam kronisme bukanlah kerabat atau keluarga, melainkan orang-orang dekat pelaku. Seperti fenomena yang telah saya sebutkan, presiden PPMI terpilih kebanyakan akan menunjuk kroni-kroninya (dalam hal ini biasanya para timsesnya) untuk mengisi pos strategis di dewan kepengurusan organisasi.

Beberapa tindakan tersebut, secara tidak langsung dapat menimbulkan beberapa problem. Pertama, jika ternyata orang pilihan presiden tadi kurang kompeten, akan berdampak pada kurang maksimalnya kinerja organisasi. Kemungkinan juga akan menghambat terlaksananya proker-proker yang sudah direncanakan. Kedua, ketika mayoritas dewan pengurus organisasi adalah orang yang dekat dan memiliki circle yang sama, hal ini akan meningkatkan kemungkinan manipulasi data administrasi dan keuangan. Selain dua kemungkinan di atas, tentu masih ada beberapa kemungkinan buruk yang dapat terjadi, namun fokus saya hanya pada dua hal tersebut.

Lalu pertanyaannya, tidak bolehkah orang dekat presiden mengisi jabatan-jabatan strategis di dewan pengurus organisasi? Sebenarnya boleh-boleh saja, namun dengan catatan ia benar-benar merupakan orang yang kompeten dan berkapabilitas di bidang tersebut. Meskipun demikian, kita mengenal sebuah asas praduga bersalah (presumption of fallibility). Singkatnya, asas tersebut adalah sebuah pandangan skeptis terhadap seseorang yang dikhawatirkan akan memperbesar peluang terjadinya kesalahan. Semisal pemilihan dewan pengurus organisasi yang hanya satu circle dengan presiden. Hal ini dikhawatirkan akan memperbesar kemungkinan penyelewengan data dan sebagainya. Maka jika bisa, hal tersebut harus diminimalisir.

Terlebih lagi, jika orang-orang pilihan presiden tersebut ternyata bukan dipilih karena menimbang kompetensinya melainkan hanya karena rasa balas budi, sebab mereka adalah orang yang telah membantunya memenangkan kontestasi pemilu raya. Jika demikian, tindakan ‘bagi-bagi kue’ tersebut mencederai demokrasi yang merupakan salah satu sifat organisasi PPMI Mesir, sebagaimana yang tercantum dalam AD/ART PPMI Mesir pasal 6. Selain itu, fenomena tersebut juga menyalahi sistem merit (merit system/civil service) yang merupakan salah satu fondasi utama demokrasi. Sistem merit atau meritocracy sendiri adalah sebuah sistem yang menjadikan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja sebagai pertimbangan utama dalam mengisi suatu jabatan, bukan karena unsur kekerabatan atau perkoncoan.

Melihat beberapa pertimbangan di atas, maka penyusunan struktur dewan pengurus organisasi PPMI Mesir dirasa perlu ditinjau ulang. Jika hingga saat ini susunan dan struktur dewan pengurus organisasi murni merupakan hak prerogatif Presiden PPMI Mesir, seperti yang tercantum dalam AD/ART PPMI Mesir pasal 32 ayat 2, mungkin ke depannya ada semacam tim formatur yang turut serta menyeleksi calon anggota dewan pengurus PPMI yang diajukan oleh Presiden PPMI Mesir. Hal ini diharapkan dapat meminimalisir terjadinya fenomena bagi-bagi kue jabatan oleh presiden terpilih kepada orang-orang dekatnya. Selain itu, agar jabatan dewan pengurus organisasi dapat diisi oleh orang-orang yang paling kompeten di bidangnya masing-masing.

Wabakdu, PPMI Mesir adalah induk bagi seluruh organisasi di lingkungan mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir), yang mayoritasnya adalah pelajar ilmu agama. Saya kira bukan tempatnya bagi mahasiswa ilmu agama, khususnya Universitas Al-Azhar untuk membawa bendera-bendera politik dan manuver-manuver perpolitikan ala politik praktis Indonesia ke dalam lingkungan Al-Azhar. Lebih-lebih, kita amat jarang merasakan pengaruh besar yang dihadirkan PPMI Mesir bagi para mahasiswa Indonesia di Mesir. Sehingga, daripada sibuk perihal perpolitikan praktis, lebih baik PPMI Mesir fokus memberikan hal-hal yang positif di lingkungan Masisir.

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad