Informatika Mesir
Home Beranda Menjahit Fakta Polemik Kepulangan Ketua Wihdah

Menjahit Fakta Polemik Kepulangan Ketua Wihdah

Sc: https://pin.it/2AJNVa3T0

Informatikamesir.com, Kairo — Bunga flamboyan mulai berguguran, terik matahari yang membuat peluh bercucuran, kemudian hembusan angin nyatanya tak berhasil melepas panas kota juga tak berhasil meredam bising Masisir.

Berawal dari beredarnya Surat Keputusan Sanksi yang diberikan DPA Wihdah kepada Ketua Wihdah PPMI Mesir 2023/2024, dan Surat Permohonan maaf Ketua Wihdah pada tanggal (15/07/2024), kemudian disusul dengan Surat Permohonan Maaf dari DPA juga Siaran Pers dari DPA Wihdah pada tanggal (17/07/2024). Lantas bagaimana rentetan kronologi dibalik rilisnya surat surat tersebut?

Berikut fakta yang kami kumpulkan dari kedua belah pihak berdasarkan wawancara dengan Mujida Amaniyya sebagai Ketua Wihdah pada tanggal (18/07/2024), juga Nur Halimah sebagai Ketua II DPA pada tanggal (24/07/2024).

Titik Awal Permasalahan

Bagai petir di siang hari, Surat Keputusan nomor 03-C4/DPA/WIHDAH-PPMI/SKEP/VII/1445-2024 membuat jagad Masisir riuh. Surat tersebut berisikan sanksi yang diberikan DPA kepada Ketua Wihdah PPMI Mesir 2023/2024, Mujida Amaniyya. DPA menilai bahwa kepulangan Mujida ke Indonesia untuk membersamai Dr. Nahlah adalah sebuah pelanggaran AD/ART Bab III Pasal 10 Nomor 4. Adapun sanksi yang diberikan, meliputi: permohonan maaf secara tertulis kepada seluruh anggota Wihdah PPMI Mesir dan dipublikasikan, juga pencabutan hak memilih dan dipilih sebagai Tim Formatur dan DPA Wihdah PPMI Mesir 2024/2025.

Pada tanggal (15/07/2024) Surat Keputusan tersebut tersebar, namun sayang beribu sayang surat tersebut dianggap oleh banyak pihak tidak sah dikarenakan tidak adanya tanda tangan dan stempel organisasi. DPA tidak menyangka bahwa permasalahan mengenai tidak adanya tanda tangan akan menjadi besar, namun pihaknya juga mengakui kesalahan tersebut. Dari pihak DPA juga menegaskan bahwa keputusan tersebut adalah hasil kesepakatan antara DPA juga Ketua Wihdah.

“Ceritanya surat itu kita print kemudian tanda tangan basah dan cap basah, jadi file yang tersebar itu tanda tangannya dikosongin, pihak Mujida juga sudah tau kalau DPA nge -print surat itu dan Surat Keputusan itu juga hasil kesepakatan kita dengan pihak mujida, saya juga merasa bersalah kenapa terburu- buru dalam merilis takutnya ketika kita telat mempublikasikan surat itu nanti publik mengira DPA hanya memberi sedikit waktu untuk pembuatan surat permohonan maaf kepada pihak mujida dan di dalam surat tersebut juga sudah tertulis bahwa pembuatannya pada tanggal 13 Juli,” ungkap Nur Halimah.

Lalu apa yang mendasari DPA untuk menjatuhkan sanksi kepada Mujida jika kepulangan nya dalam rangka membersamai Dr. Nahlah? Apakah alasan kepulangannya bukan termasuk kepentingan organisasi?

Kontroversi Perizinan Ketua Wihdah

AD/ART Bab III Pasal 10 yang berbunyi “Ketua Wihdah PPMI tidak diperkenankan meninggalkan Mesir selama masa jabatan kecuali untuk kepentingan organisasi dan/atau keperluan mendesak”, nyatanya melahirkan tafsiran yang berbeda antara DPA juga Ketua Wihdah.

Ketua Wihdah menyampaikan bahwa kepulangannya untuk membersamai Dr. Nahlah bisa dikatakan sebagai kepentingan organisasi karena pertemuan Dr. Nahlah dengan pihak pihak yang ada di Indonesia dianggap urgent.

“Kalau bicara kepentingan organisasi, kepulangan saya itu untuk membahas regulasi kedatangan mahasiswa baru tahun ini yang mana mahasiswa baru seluruh dunia pada tahun ini itu dipusatkan semuanya di Markaz Tathwir yang pada tahun ini dinahkodai Dr. Nahlah, jadi penting adanya pertemuan orang orang penting Indonesia dengan Dr. Nahlah dan otomastis ketika saya terlibat didalamnya Wihdah akan mendapat respon yang baik juga citra dan kiprah wihdah semakin bagus”, jelas Mujida.

Berbeda dengan tafsiran Ketua Wihdah mengenai kepulangannya atas dasar kepentingan organisasi, Nur Halimah selaku DPA menilai bahwa kepulangan Mujida dirasa tidak cukup mendesak.

“Kepulangannya tidak cukup mendesak karena masih banyak solusi yang lain, misalkan dia bisa menunjuk orang lain yang sekiranya mampu berbahasa arab, bisa menemani, dan sebagainya, jadi masih banyak langkah-langkah yang bisa dilakukan”, jelas Nur Halimah.

Kemudian perbedaan penafsiran tak hanya pada pasal AD/ART, namun juga regulasi kepulangan Ketua Wihdah. Ketua Wihdah merasa bahwa tidak ada indikasi tidak mengizinkan saat ia izin kepada DPA melalui telfon pada tanggal (16/06/2024) dan dirinya telah menunjuk PLT (Pelaksana Tugas) selama ia di Indonesia. Meskipun belum ada regulasi yang mengatur kepulangan Ketua Wihdah, Mujida menyampaikan bahwa yang dilakukannya hanya atas dasar sebagai norma Dewan Pengurus yang diawasi oleh Badan Pengawas.

Lain lubuk lain ikannya, izin yang dilayangkan Mujida melalui telfon tidak dianggap DPA sebagai perizinan melainkan hanya pemberitahuan. Kemudian untuk masalah regulasi menurut DPA seharusnya ada surat perizinan Ketua Wihdah, tapi DPA pun mengakui masih belum adanya regulasi tetap untuk hal tersebut.

Jika memang belum ada regulasi yang mengatur, apa validitas sanksi ketua wihdah?

Validitas Sanksi Ketua Wihdah

Setelah ditetapkan melanggar AD/ART, pada tanggal (13/07/2024) DPA mengadakan Rapat Evaluasi DPA dengan menghadirkan Ketua Wihdah. Menurut penuturan Ketua Wihdah rapat berlangsung begitu alot, pihaknya tidak serta merta menerima sanksi yang diberikan DPA.

“Saya tidak menemukan titik apa yang saya langar, AD/ART nya ada qoyyid, permasalahan yang dipaparkan oleh DPA bahwa saya pulang tidak melalui izin dari DPA, namun DPA juga tidak mempunyai regulasi terus apa yang saya langgar? kecuali ada regulasi dan saya tidak menjalani hal tersebut, akhirnya saya menerima sanksi namun DPA juga mengeluarkan permintaan maaf karena tidak adanya regulasi”, ucap Mujida. Yang menimbulkan pertanyaan mengenai 2 poin sanksi ini adalah, mengapa sanksi yang diberikan kepada ketua wihdah tidak sesuai dengan poin sanksi pada AD/ART yang meliputi: peringatan, permintaan maaf secara tertulis, scorsing, kemudian penonaktifan keanggotaannya berdasarkan rapat DPA?

“Bagaimana kita mau memperingatkan sedangkan sudah kejadian, jadi permintaan maaf adalah untuk seluruh anggota wihdah sebagai pertanggungjawaban dia, ibarat kata meninggalkan anggotanya disini jadi pertanggungjawaban terhadap anggota. Kalau yang dicabut hak memilih dan dipilih sebagai tim formatur dan DPA itu karena ya kita anggap Mujida sudah melanggar dan memudahkan AD/ART,” ucap Nur Halimah.

Dalam sesi wawancara, kedua belah pihak menegaskan bahwa keputusan akhir mengenai sanksi sudah menjadi kesepakatan bersama.

Siaran Pers yang dirilis Pihak DPA

Pada tanggal (17/07/2024) akan menjadi ingatan yang tak lekang oleh waktu. Pagi harinya DPA merilis surat permohonan maaf atas tidak adanya regulasi yang mengatur kepulangan Ketua Wihdah, dan saat SPA berlangsung pun DPA seakan memberi kejutan kepada masisir dengan membacakan Siaran pers mengenai kronologi kepulangan Mujida. Dalam sesi wawancara dengan pihak DPA, kamipun menayakan maksud dari Siaran Pers yang dirilis saat SPA.

“Jadi saat sidang SPA itu kita memikirkan apakah ini (Siaran Pers) diperlukan atau tidak. Akhirnya kami memutuskan jika nanti di ruang sidang ada yang mempertanggung jawabkan atau menanyakan terkait persoalan itu (kepulangan Ketua Wihdah) maka kita bacakan siaran pers nya jika tidak ada yang menanyakan kita tidak akan keluarkan siaran pers itu. Dan file Siaran Pers ini hanya kami bacakan dan tidak kami sebarkan karena pasti akan menimbulkan masalah baru lagi”, jelas Nur Halimah.

Kronologi yang diterangkan dalam Siaran Pers  dinilai kontroversional, menurut Mujida pihak DPA tak pernah mengajaknya komunikasi dengan baik perihal masalah ini sehingga muncullah kronologi yang bertentangan dari pihak Mujida.

“Yang poin pertama berbunyi SK (Surat Keputusan)  yang diturunkan pada tanggal 15 adalah SK yang diturunkan karena saya keluar dari Mesir 2 kali, SK itu kan hasil rapat padahal  ketika rapat sama sekali tidak ada pembahasan mengenai umroh saya. Saya pernah keluar dari mesir sebelumnya dan tidak dipermasalahkan padahal regulasi yang saya lalukan sama, mulai dari izin kepada DPA dan mengutus PLT,” jelas Mujida.

Kepergian Mujida sebanyak 2 kali menjadi fakta baru, Mujida juga menjelaskan bahwa kepergiannya untuk umroh sudah atas izin ketua DPA I, Hunna Hayyu Rosyida.

“Di poin ke 3 tertuliskan saudari Hunna akhirnya mengizinkan kepergiannya dan saudari Mujida meminta kepada saudari Hunna untuk merahasiakan izin dan kepergiannya dari DPA lainnya, saya tidak bilang itu harus dirahasiakan dari DPA lainnya tapi memang saya meminta untuk dirahasiakan tidak di share ke manapun mengenai urusan pribadi saya, yang sangat saya sayangkan mengapa tidak ada peringatan sama sekali dari DPA tapi langsung di share ke publik Siaran Pers nya,” lanjut Mujida.

DPA juga buka suara mengenai alasan tidak menyertakan perihal umroh saat rapat bersama Ketua Wihdah.

“Karena yang mengetahui perihal tersebut (umroh saudari Mujida) adalah Hunna dan dirinya nggak ada di Mesir saat itu, Hunna juga mengakui kesalahannya karena sudah mengizinkan, dan dia juga akan menjalankan hukumannya berupa sanksi permohonan maaf yang akan dipublikasikan setelah Kembali dari Saudi,” jelas Nur Halimah.

Pihak DPA dan Ketua Wihdah sama-sama mengakui bahwa tidak adanya regulasi mengenai kepulangan Ketua Wihdah sehingga AD/ART Bab III Pasal 10 menimbulkan multitafsir dari banyak pihak.

 

 

Reporter: Dina, Khonis, Naila

Editor: Naila

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad