Informatika Mesir
Home Suara Mayoritas Menggali Nasionalisme Dalam Relung Hati Para Azhari

Menggali Nasionalisme Dalam Relung Hati Para Azhari

Sesi perfotoan bersama usai peringatan kemerdekaan Indonesia ke-74 di KBRI Kairo (17/8) (Dok. Informatika)
“Siapapun yang coba-coba mengganggu keharmonisan Indonesia, apalagi sampai menggangu stabilitas dan integritas wilayahnya, pasti akan dilawan,” ujar Falih A.G, aktivis mahasiswa Indonesia di Mesir saat diwawancarai kru Informatika pada Jumat, 9 Agutus 2019. Menurutnya, nasionalisme dalam arti sederhana ialah mencintai Indonesia tanpa pamrih, namun kongkrit dalam arti sebuah sikap.
Kemudian, Hendrasari Nurhono SIP., MIP. salah satu pemuda bangsa yang sedang ditugaskan di bumi Kinanah ini menjelaskan secara lebih dalam tentang nasionalisme. Ia menambahkan bahwa nasionalisme lebih dari sekedar sikap, ia adalah paham kesatuan yang menyatukan berbagai macam suku di Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi asas kuat nasionalisme.
Adapun Miftah Wibowo,  mahasiswa pegiat sejarah dan peradaban, ia melihat nasionalisme sangat berkaitan erat dengan cinta kepada tanah air, bukan sekedar moto jelasnya. Menurutnya Nasionalisme harus bisa diejawantahkan ke dalam sebuah sikap. Tidak hanya sekedar  nasionalismenya tinggi tapi sebatas pemahaman, belum masuk ke prilaku. Sebagai  permisalan, seseorang  yang telah lama tinggal di luar negeri hingga menjadi profesor, di situ nasionalismenya diuji. Apakah dia mau pulang dan membangun negerinya Indonesia?
Diakui Nora Burhanudin bahwa nasionalisme adalah sebuah paham kecintaan terhadap tanah air tanpa membeda-bedakan. Selaku Ketua Tanfidziyyah PCINU Mesir, dia memaparkan pemahaman yang ditanamkan langsung oleh para sesepuh NU bahwa menjaga dan merawat negeri ini sesusai dengan kapasitas, jangan membenturkan nasionalisme dengan agama, karena dapat memuat perpecahan antar umat beragama. “Kita tetap melakukan semua peraturan sesuai undang-undang konstitusi tanpa membuat peraturan-peraturan baru yang dapat berakibat patal dan berdampak perpecahan,”imbuhnya.
Sama halnya dengan PCINU, Ketua PCI Muhammadiyah Mesir juga mengatakan hal serupa. Ia menjelaskan bahwa nasionalisme adalah kesepakatan dan kesepahaman seluruh rakyat Indonesia untuk cinta tanah air, yang kesemuanya bermula saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan. Lebih jauh dari itu, Zaky Al-Rasyi menambahkan bahwa nasionalisme bukan hanya sekedar kata-kata namun ia harus sudah menjadi tingkah laku atau sikap. Hal tersebut dibuktikan dengan membangun masyarakat Indonesia untuk memupuk jiwa nasionalisme, terutama di sektor pendidikan.
Tantangan Nasionalisme
Sebagai negara besar, Indonesia tidak akan pernah lepas dari rongrongan dan ancaman, baik terhadap pertahanan maupun terhadap ideologi. Sejarah kelam Indonesia paska kemerdekaan adalaah G30SPKI. Untuk ini Hendra kembali mengulas sejarah singkat mengenai hal tersebut. Dengan nada tegas ia mengatakan, “Segala hal yang bermaksud mengubah ideologi negara patut dihindari dan dilawan, ke depan kita harus berani berbuat dan bersikap, mumpung masi ada pelaku sejarah yang belum wafat.”
Berbeda dengan Hendra, Falih menjelaskan, “saya tidak terlalu peduli sebenarnya, dengan diksi atau bias-bias komunis yang seringkali digulingkan dalam setiap momen tertentu apalagi momen pemilu. Jadi, agak memuakan sebenarnya, kita seringkali ditakut-takuti atas persaingan masa lalu. Berkaca boleh, namun kita harus bisa berdamai dan jadikan rujukan di masa mendatang. Ideologi komunis itu sudah bangkrut ngapain ditakuti.” Tegasnya. 
Nora menekankan orang yang menolak nasionalisme adalah orang yang tak mendapatkan fitrah alami dalam dirinya karena cinta tanah air merupatkan fitrah. Namun ia juga menyadari ada faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi. Maka untuk itu sedari dini sikap nasionalisme harus ditanamkan.
Sementara Ketua PCI Muhammadiyah melihat bahwa orang-orang anti nasionalisme adalah mereka yang telah terkena doktrin atau pemahaman yang salah mengenai nasionalisme. Mereka tidak mengerti akan susahnya memperjuangkan, mendirikan, serta menstabilisasikan sebuah negara. Ada darah yang tumpah disertai derai air mata yang tumpah. Dan ini tidak semudah membalikan telapak tangan. Tegas Zaky.
Sedangkan Miftah memandang tentang pentingnya literasi yang baik bagi keberlangsungan nasionalisme. Ia mengatakan, dunia literasi mempunyai andil besar dalam mempengaruhi pemahaman khususnya nasionalisme. Menurutnya literasi yang lemah menyebabkan seseorang mudah terpengaruh dan tercuci otaknya, sehingga mereka cenderung rasis, diskriminatif dan kerap berpikir irasional. 
Mahasiswa-Nasionalisme 
Mahasiswa sebagai pemuda memiliki peran serta serta menjadi garda depan dalam mempertahankan ideologi negara. Hendra memaparkan,  Masisir sejatinya adalah kader  pemimpin bangsa juga umat di Indonesia. Sementara untuk menjadi pemimpin yang sukses itu diperlukan pembelajaran terlebih dahulu. Minimalnya mahasiswa bisa memimpin untuk dirinya sendiri. Pemimpin yang punya jiwa nasionalis menurut Hendra adalah sebagai berikut: Pertama, mau dipimpin. Jika tidak mau dipimpin ia akan menjadi pemimpin yang seenaknya. Kedua, harus bisa memposisikan diri. Pemimpin harus tahu kapan menjadi pemimpin. Selain itu, sebagai agent of change mahasiswa harus bisa mendinamiskan keaadaan. Dengan kemampuan mengubah dari hal kecil, mengubah dari diri sendiri dan mengubah dari sekarang, dan terakhir harus siap berada di zona tidak nyaman. 
Falih punya pandangan lain, baginya mahasiswa tidak perlu mengimajinasikan diri sebagai pemimpin, karena justru yang terjadi nanti adalah ambisi posisi bukan pencari solusi. Masisir harus siap akan menjadi apapun, di posisi apapun. Baginya selagi masih berada di Mesir adalah waktu untuk menjelajahi diri sembari menyiapkam software diri yang cukup expert, karena menjadi pemimpin itu tidak mudah, dia haruslah bergelut dulu dengan waktu, dengan keadaan yang menghimpit,dengan darah dan air mata bila perlu, sebab tidak ada yang memiliki karakteristik yang kuat jika ia tidak melalui penempaan yang cukup. 
Zaky menambahkan, tugas Masisir bukan hanya sebagai kader bangsa yang berjiwa nasionalisme saja akan tetapi mereka sejatinya adalah kader Azhari yang harus bisa membawa paham moderasi sebagai asas rahmatan lil’alamin dalam dinamika kebangsaan, keindonesiaan dan keislaman kelak. Namun itu saja tidak cukup menurutnya. Sebagai mahasiswa di luar negeri patutnya mencerminkan akhlak yang baik kepada pribumi sebagai wujud rasa nasionalis Masisir, jangan sampai membuat nama Indonesia buruk di mata warga Mesir.
Sama dengan Zaky, Miftah memandang bahwa Masisir yang sudah otomatis menjadi duta bangsa Indonesia  haruslah bisa mengenal nusantara dan memperkenalkan budayanya. Sebagai contoh, kegiatan Atmosfer yang diselenggarakan oleh PPMI Mesir beserta jajaran KBRI Kairo, baginya kegiatan tersebut dapat menjadi tempat deklarasi nasionalisme di luar negeri. 
Reporter: Efni, Hastyra, Feliani, Shabur
Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad