Informatika Mesir
Home Aktualita Mengapa Sampai Sekarang Hanya Farhan-Rifki yang Resmi Terdaftar Sebagai Capres-Cawapres PPMI?

Mengapa Sampai Sekarang Hanya Farhan-Rifki yang Resmi Terdaftar Sebagai Capres-Cawapres PPMI?

Suasana deklarasi Farhan-Rifky selaku Capres dan Cawapres PPMI Mesir 2020-2021. (Sumber: MET.tv)

Penulis: Albi Tisnadi Ramadhan

Jika anda membaca tulisan ini pada hari Minggu, 8 Maret, 2020, berarti ada kemungkinan pada hari ini sudah ada yang berani maju melawan pasangan Farhan-Rifki dalam kontestasi Pemilu Raya Presiden dan Wakil Presiden PPMI Mesir. Namun jika sampai tanggal tersebut bahkan keesokan harinya belum ada iring-iringan Capres-Cawapres baru datang mendaftar ke Wisma Nusantara, maka benar saja kejadian 4 tahun yang lalu akan kembali dialami oleh Masisir, yaitu Capres dan Cawapres hanya akan melawan kertas kosong saat pemilihan. Maksudnya, jika yang hadir ke TPS nanti 35% plus satu orang mencoblos Farhan-Rifki, maka mereka secara de-facto resmi menjadi Presiden dan Wakil PPMI periode 2019-2020.

3 tahun lalu, atas arahan dari sdr. Thoriq Aziz, Pimpinan MPA PPMI Mesir saat itu, saya didaulat memimpin panitia PPR (Panitia Pemilu Raya) PPMI guna menjalankan tugas meraih simpati Masisir untuk kembali merasakan miliu demokrasi yang sudah mulai surut semenjak revolusi Mesir 2013. Saat itu saya dibayang-bayangi tuntutan besar dari MPA agar sebisa mungkin bermanuver guna menghindari “kebiasaan” dua tahun sebelumnya, pemilihan untuk calon tunggal.

Dengan itu, saya dan beberapa rekan-rekan BPH PPR 2017 mencoba memutar otak, tidak hanya untuk membuat sebuah sistem yang terbarukan, guna persiapan menghadapi 2 calon Presiden-Wakil Presiden, tapi juga turut mengkampanyekan acara Pemilihannya itu sendiri. Agar lebih terasa milieu dan value-nya.

Singkat cerita saya dan keluarga PPR saat itu berhasil untuk membawa 2 Paslon beradu gagasan kembali di ring Pemilu. Saat itu ada pasangan Ikhwan-Ilmi dan Pangeran-Habib. Walaupun berasal dari satu kekeluargaan dan satu almamater, kedua Paslon saat itu nampak sekali mengeluaran aura persaingan antar keduanya.

Berbagai gagasan, ide dan cita-cita keduanya saling dilontarkan untuk diuji dan dinilai oleh Masisir. Tidak jarang bumbu-bumbu kampanye kotor (black campaign) turut keluar dari para Timses masing-masing kubu. Para ketua-ketua kekeluargaan dan beberapa organisasi lain intra PPMI juga saling berikan masukan dan dukungan bagi kedua paslon. Intinya, waktu yang kurang lebih berjalan selama satu bulan itu ruang media baik pribadi maupun sosial dipenuhi oleh pamflet dan poster kedua Paslon.

Hal itu hanya dapat dirasakan Masisir jika memang terdapat lebih dari satu calon maju untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden PPMI. Akan tetapi memang apa aja sih, ruginya jika memang hanya terdapat satu calon? Bukannya malah enak ya, waktu, tenaga dan emosi para Timses juga tidak akan habis? Dan lagi anggaran PPR dan tenaga para panitia pun tidak akan banyak terkuras kan?

Sebentar, sebelum saya berikan pandangan tentang hal itu, terlebih dahulu saya ingin cairkan terlebih dahulu permasalah tentang mengapa bisa ada calon tunggal dalam sebuah kontestasi pemilihan. Khususnya pemilihan Intra organisasi Masisir. Pertama, peran organisasinya yang sudah tidak dapat menjangkau banyak kalangan Masisir. Poin ini menurut saya yang terpenting, dengan hanya adanya satu calon dalam sebuah pemilihan menandakan bahwa kalangan yang berada di lingkungan itu tidak memberikan manfaat signifikan bagi dirinya.

Begini, nilai eksistensi sebuah organisasi datang dari sebesar apa ia dapat menjangkau kehidupan anggotanya. Akhir-akhir ini PPMI seperti kehilangan arah untuk mencapai tujuan-tujuan dijalankannya organisasi, jika tidak ingin dibilang memang tidak memiliki tujuan. Jika berkaca pada induk afiliasi mayoritas mahasiswanya, Al-Azhar, PPMI terbilang kelimpungan untuk bisa membawakan wacana-wacana yang memang diusung oleh Al-Azhar saat ini.

Contoh kecilnya saja, Al-Azhar yang saat ini sedang menggalakkan kampanye tentang deradikalisasi pemikiran dan deislamophobia di dunia, yang mana dengan itu ia membuat berbagai dialog keagamaan. Tentunya masih hangat di sanubari pembaca bagaimana indahnya pelukan persaudaraan antara GSA dan Paus Fransiskus, yang menghasilkan Dokumen Persaudaraan Manusia, pada Februari tahun lalu.

Ok, jika memang dikata itu bukanlah suatu hal yang perlu dibesarkan, karena alasannya memang itu bukanlah maqam mahasiswa, untuk kita akhirnya bisa berkilah, dan hanya kembali bisa berlindung di balik jubah Azhar tanpa bisa berbuat apapun. Tapi bolehkah saya bertanya, jika bukan untuk belajar membawa risalah Al-Azhar untuk apa kita belajar di sini?

Bisa jadi slogan-slogan macam jiwa azhari atau berbudi azhari hanyalah isapan jempol semata pemanis visi-misi calon-calon pemangku jabatan strategis. Dan menurut saya, kondisi semacam inilah yang justru mematikan tendensi akademisi azhar tulen yang tak acuh pada PPMI karena keadaan memang jauh dari harapannya. Dan tentunya masih terdapat banyak catatan lainnya terkait poin ini, biarlah waktu yang menjawab.

Kedua, disintegrasi antar lembaga intra PPMI. Biarlah ini menjadi lagu lama yang selalu bising terdengar, jika PPMI selalu tidak cakap memposisikan diri di hadapan organisasi khusus (OK) dan badan otonomnya (BO). Jika catatan terdahulu selalu menyinggung tentang kegiatan organisasi yang tumpang tindih antara pusat dan bawahan, saya izin untuk menambahkan satu poin tambahan yang kerap terlupakan, yaitu sampai sekarang semua pihak masih kesulitan untuk mengurai kerancuan koordinasi antara Pusat, dalam hal ini MPA-BPA dan Eksekutif untuk bisa berperan ke pada BO dan OK.

Hal ini bermula pada BO dan OK kurang bisa bersinergi dengan PPMI baik dari sisi pengawasan, dengan utusan-utusan di MPA-BPA, maupun keikutsertaan anggota dalam kepanitiaan besar PPMI. Hal ini dapat terlihat dari jamaknya kepanitiaan yang melakukan open rekruitment hanya untuk mencari panitia. Hal ini berdampak pada disintegrasi kelembagaan yang mengakibatkan masing-masing memiliki navigasi dan tujuan berbeda-beda.

Saya mengerti jika BO dan OK memiliki kedaulatan masing-masing, akan tetapi PPMI bukankah dibangun atas asas kekeluargaan? Dan dijalankan demi dan untuk kemaslahatan Masisir? Tidak bisakah ranah kedaulatan itu dipaparkan secara jelas hingga masing-masing tahu mana ranah bersama dan mana ranah pribadi. Saya selalu lantang berbicara pada kawan-kawan ngopi di Layali, jika tidak ada satu lembaga pun di Masisir yang memiliki data yang valid tentang anggotanya.

Bahkan almamater saya sekalipun masih kelimpungan mendata anggotanya. Sekarang bagaimana bisa berkontribusi jauh untuk mengetahui minat, bakat serta kecenderungan anggotanya jika organisasi yang menaunginya saja tidak tahu di mana ia tinggal, itu kan paling mendasar. Jika dari ranah organisasi di bawahnya saja masih kesulitan untuk menjaring tendensi warganya, bagaimana pusat bisa menyesuaikan anggaran, kegiatan serta kebijakan yang mungkin dilakukan demi kebaikan bersama?

Dengan ini saya turut mengapresiasi Gamajatim yang mulai sadar akan pentingnya perihal ini, saya berandai-andai jika Gamajatim esok hari akan menjadi kekuatan besar kekeluargaan Nusantara karena dapat menyesuaikan agenda dengan minat dan bakat anggotanya. Poin terakhir yang menjadi catatan adalah terpecahnya konsentrasi para punggawa PPMI dengan penanganan permasalahan-permasalahan normatif anggotanya.

Pasalnya, permasalahan ini terbilang baru ditemukan dan kebetulan saja besar. Saya sendiri tidak menampik jika sebelumnya juga terdapat permasalahan serupa hanya saja tidak terekspose. Dari sudut pandang saya, bisa dibilang salah satu ujian terberat bagi PPMI adalah permasalahan ini, tekanan tentunya hadir dari pelbagai pihak, baik senior, media, ustadz dan ustadzah para pembimbing Masisir. Secara tidak langsung hal-hal seperti ini nampak menutupi eksistensi kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan PPMI dan pada akhirnya berdampak besar sendiri pada tugas PPMI yang samar bagi para kader-kader pemimpinnya.

Catatan di atas tidak saya tujukan untuk PPMI saja, karena permasalahan memang berputar pada seluruh elemen di dalamnya. Ibarat kata jika salah satu dari perangkat organisasi tidak bisa berjalan sesuai dengan treknya, maka saya yakin bagian lainnya juga pasti tidak mungkin bisa berjalan dengan baik. Kembali ke pertanyaan di atas, apa ruginya jika hanya terdapat satu paslon yang maju dalam kontestasi Pemilu raya? Jawabannya cukup banyak, saya hanya akan sebutkan beberapa poin utamanya saja.

Pertama, hal ini menandakan program kaderisasi kepemimpinan di dalam lingkup PPMI kurang berjalan optimal, padahal ladang untuk berlatih amatlah besar, baik dalam skala kepanitiaan maupun kepengurusan tingkat kekeluargaan, afiliatif dan almamater. Dengan begitu bisa dinilai sebaliknya, kepengurusan dan kepanitiaan intra Masisir berhasil karena telah berhasil jika mampu menelurkan kader-kader pemimpin yang siap berkhidmat untuk masyarakat sekitarnya.

Kedua, salah satu harapan dengan hadirnya opsi ke dua atau ke tiga adalah tuntutan bagi para calon akan semakin besar untuk membuat rancangan kepengurusan yang lebih matang. Program-program pasti akan semakin runut difikirkan dampaknya bagi Masisir. Baik dari sisi target, anggaran, hingga para penyelenggara. Bukankah jiwa berkompetisi dalam kebaikan adalah salah satu nafas dari Islam? Dan Yang terakhir, tentunya sangat disayangkan sekali medan pendidikan sebesar ini tidak bisa dengan baik dimanfaatkan, mengingat PPMI merupakan salah satu organisasi besar yang tanggung jawabnya amatlah besar.

Insan yang berada di dalamnya pun berasal dari berbagai macam suku, bangsa dan budaya. Akan jadi sebuah pengalaman bagi para paslon untuk bisa berkompetisi di dalam ranah kemajemukan yang mungkin tidak bisa didapatkan di medan dakwah masing-masing daerah. Juga sirkulasi keuangan yang mengalir setiap tahunnya tidak bisa dibilang sedikit untuk seukuran organisasi intra Mahasiswa. Dari sana kita bisa saling belajar untuk amanah dalam menggunakan dana umat.

Bagi saya yang hanya mengamati dari jauh dan pernah berkecimpung di dalam kepanitiaan PPR, masa-masa ini pernah menjadi waktu yang sangat berkenang. Saya yakin panitia sekarang pun memiliki keinginan pengalaman seperti yang saya alami. Sebenarnya satu atau dua paslon tidak pernah menjadi masalah bagi saya yang berasal dari kalangan mahasiswa abangan. Akan tetapi jika membicarakan kemaslahatan besar yang mungkin didapatkan dan dirasakan oleh Masisir dari kontestasi ini, kamu yang masih ragu-ragu, yang baca sambil senyum-senyum kapan mau nyalon Presiden PPMI?

Editor: Muhammad Nur Taufiq al-Hakim

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad