Informatika Mesir
Home Aktualita Koridor Moral sebagai Alternatif Utama Meminimalisir Tindakan Asusila dan Pelecehan Seksual

Koridor Moral sebagai Alternatif Utama Meminimalisir Tindakan Asusila dan Pelecehan Seksual

Ilustrasi moral. (Sumber: sekolahan.co.id)

Oleh: Rahmat Saleh Hutasuhut, Peserta Opini Terbaik di Sanggar Informatika 2020

Perbincangan tentang tindakan asusila dan pelecehan seksual di kalangan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) memang cukup serius dan selalu menjadi buah bibir sampai saat ini. Motif dan corak di balik itu beraneka ragam; mulai dari pertemuan antara mahasiswa dan mahasiswi di rumah makan, jalan berduaan di taman, memasukkan pasangannya ke rumah bahkan sampai ke dalam kamarnya, ada yang berkali-kali menyewa homestay untuk ditinggali bersama pasangannya, hingga kasus yang lebih parah lagi, sebagaimana yang dirangkum dan dilansir oleh media Informatika melalui penjelasan dari Boris Yudiarso dan Zulkifli Syah Chan, Lc., selaku salah seorang senior Masisir dan juga merupakan pegiat dan aktivis sosial Masisir.

Alih-alih penyebabnya adalah tidak ada atau kurang adanya pembatasan sosial dan interaksi antar lawan jenis. Tapi sayangnya solusi seperti ini kurang tepat dan tidak berlaku dalam skala luas dan jangka panjang, begitu juga ini terlihat seperti mengekang Hak Asasi Manusia yang dimiliki setiap individu. Kalau dilihat dari bingkai normatif, ini merupakan contoh kegagalan awal seorang penuntut ilmu yang tidak bisa menjalankan amanah, apalagi ia dituntut untuk mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari yang lebih besar bersifat agama.

Seandainya dikatakan ini adalah karena kebodohan, pernyataan ini pun juga belum tepat, karena di antara oknum yang melakukan tindakan asusila ini termasuk orang yang berilmu, sampai-sampai sudah dipandang sebagai guru bimbel. Maka dari sini bisa disimpulkan, berilmu saja belum cukup, tapi perlu pengasahan, penguasaan, dan pengaplikasian ilmu-ilmu jiwa dan ilmu etika, atau bisa dikategorikan ilmu tasawuf dan ilmu akhlak.

Penghukuman, pengekangan, pembatasan, dsb yang bersifat mengatur bukan jalan satu-satunya untuk mengatasi masalah ini, karena penerapan yang hanya semacam ini tidak relevan untuk Masisir, apalagi di samping itu mereka adalah orang yang sudah dewasa, seharusnya paham dalam bertindak dan mengetahui sebab-akibat dari tindakannya.

Melihat dari perkembangan biologis Masisir, bisa dikatakan kebanyakan mereka berada dalam transisi dari masa remaja ke dewasa, yang mana di masa ini hormon dan libido seksual cukup meluap. Jika tidak ditangani dengan jalur penyadaran diri tentang hakikat beragama, yang mana agama sangat mengantisipasi hawa nafsu dengan cara mendekatkan diri kepada Allah dan sadar akan tugas manusia sebagai hamba yang selalu dalam pantauan dan pengawasan-Nya, maka kemungkinan besar hasilnya tetap sama.

Cara seperti ini dapat merepresentasikan konsep doktrin sebagai bius untuk masuk ke dalam relasi hegemoni antara manusia, yang dalam hal ini sebagai budak atau hamba, kepada sesuatu yang memiliki pengaruh besar dan kekuasaan yang universal sebagai pemilik segalanya, yang tidak bisa dilakukan proses tawar-menawar dalam satu perintah dan larangan, yang semacam ini disimbolkan sebagai Tuhan yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam kehidupan.

Selain itu, agama Islam yang pada dasarnya adalah agama yang tidak memiliki paksaan dalam melaksanakan ritual-ritual keagamaan, memiliki tahziran dan peringatan berupa hukuman yang didapat di kemudian hari bagi siapa saja yang menyimpang dari rel-rel batasan agama, otoritas Tuhan lah yang berperan menentukannya.

Tidak hanya peringatan dan ancaman yang ada di agama, melainkan iming-iming serta janji-janji kebahagiaan dan keselamatan merupakan bius kedua untuk menundukkan manusia dalam beragama. Sebagaimana diketahui, semua ini berasal dari kabar wahyu yang menjamin adanya kebahagiaan dan siksa adalah Tuhan itu sendiri yang disampaikan melalui utusan-Nya. Kebenarannya merupakan kebenaran mutlak.

Terlepas dari itu semua, manusia lah yang memiliki wewenang untuk menjalankan semua yang telah ada, tergantung bagaimana cara ia mengambil satu peran untuk dijadikan standar hidup. Karena pada hakikatnya, jika ia melakukan tindakan yang tidak etis dan melanggar batasan agama, maka dia akan mendapatkan hukuman dan siksa, begitu juga kalau ia melakukan perbuatan baik, maka kebahagiaan akan diperolehnya.

Perlu diingat, agama memberikan ini semua bukan untuk menjadikan manusia semata-mata menjadi budak atau makhluk yang dogmatis; hanya terkendali dengan tali harapan-harapan surga bagi orang yang berbuat baik. Melainkan agama membuatnya untuk kesejahteraan manusia itu sendiri dan memperindah hubungan satu dengan yang lain, sehingga lahirlah kehidupan yang harmonis di muka bumi ini, dan bisa meminimalisir kesenjangan sosial, perbuatan tak senonoh, dan konflik antar individu dan antar kelompok. Semua ini ada dalam bingkai moral dan norma-norma.

Sebab-sebab Hilangnya Moral

Barangkali ada dua poin yang krusial tentang memudarnya moral penuntut ilmu, yaitu; pertama, tidak mempunyai panutan utama yang tetap dalam hidup. Sebagai muslim tentu kita mempercayai rukun iman yang enam, satu di antaranya adalah peran Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul. Allah Swt. menerangkan dengan sangat jelas dalam Alquran bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah panutan yang mulia sebagai model suri teladan yang baik (Q.S. Al-Ahzab: 21). Allah Swt. dengan lantang menyebutkan salah satu syarat yang paling penting tentang bagaimana bukti cinta kepada Allah adalah awal mula dengan mencintai Rasul dan mengikuti jejak serta ajarannya (Q.S. Al-Baqarah: 31).

Tentu, Allah Swt. mempunyai alasan yang terbaik dan tepat kenapa Nabi Muhammad Saw. menjadi number one bagi umat muslim. Allah Swt. juga mengutarakan salah satu alasannya, yakni karena Nabi Muhammad Saw. adalah orang yang mempunyai akhlak yang agung (Q.S. Al-Qalam: 4), yang beliau contohkan dengan interaksi sosial kepada siapa pun dengan etika dan moral yang luhur, sehingga beliau digelari dengan Al-Amīn (orang yang sangat dipercaya) dari kalangan kaum kafir Quraisy. Ini merupakan hasil karya ciptaan-Nya yang seharusnya umat muslim menjadikan beliau sebagai panutan utama yang tetap dalam kehidupan muslim.

Kedua, kurangnya belajar ilmu akhlak dan tasawuf langsung kepada guru. Di antara lima rukun atau syarat dalam belajar yang pernah dikemukakan oleh Syekh Sayyid Usamah Al-Azhariy adalah memiliki guru. Dalam akademik pun, guru adalah sebagai aktor yang menjalankan sistem belajar di kelas-kelas. Jadi, urgensitas dari eksistensi guru memang tidak bisa diacuhkan, seolah-olah kalau disebut kata belajar, pasti kalimat guru mengiringi keberadaan kata belajar. Maka, kata belajar dan kata guru adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Dalam budaya klasik Islam sendiri menganggap seorang guru—ulama—adalah sebagai pewaris para nabi. Ilmu akhlak dan moral hanyalah sebuah teori saja. Dalam merefleksikan contoh akhlak yang pernah diterapkan Nabi Muahammad Saw. terwujud di rantai pewaris beliau, yaitu dalam hal ini adalah ulama. Maka, ada baiknya belajar ilmu akhlak dan moral tidak secara otodidak, tetapi langsung kepada para ulama. Karena belajar sendiri, dengan belajar langsung kepada guru memiliki sensasi yang berbeda, dan juga akhlak itu disampaikan tidak hanya dengan teori saja, tapi dengan aplikasi yang tergambar dalam kehidupan para ulama.

Dalam penganalogian dari perbedaan ilmu akhlak dan moral dengan ilmu yang lain, yaitu ilmu akhlak dan moral dikatakan ilmu basah, sedangkan selainnya disebut ilmu kering. Maka secara implisit, belajar satu ilmu tertentu harus diiringi dengan ilmu akhlak dan moral, karena sesuatu yang kering sangat membutuhkan kepada yang basah, begitulah kehidupan selalu butuh kepada air, agar bisa menciptakan benih-benih menjadi makhluk hidup secara utuh.

Jadi, sebagai alternatif meminimalisir tindakan asusila memang butuh kepada pembatasan interaksi sosial antar jenis. Namun selain itu, penggaungan tentang urgensi belajar akhlak dan moral juga harus diterapkan. Seperti merumuskan aturan khusus tiap-tiap kekeluargaan dengan menganjurkan agar anggotanya juga tidak lupa belajar ilmu basah ini, dan mewujudkan suatu teguran kepada siapa saja yang tidak mau atau tidak peduli dengan ilmu yang satu ini, yaitu ilmu akhlak dan moral. Supaya pembatasan dari segi eksternal ada, begitu juga dari internal pun tersedia.

Editor: Defri Cahyo Husain

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad