Informatika Mesir
Home Analisis Ringan Konflik di IBBAS, Penghuninya Ingin Bebas

Konflik di IBBAS, Penghuninya Ingin Bebas

Ilustrasi Pemerasan. (Sumber: amazonaws.com)

Informatikamesir.net, Kairo—Beberapa hari yang lalu dikabarkan melalui jejaring ponsel pintar, ada konflik serius yang terjadi di dalam Pondok Ibnu Abbas (IBBAS)—lembaga di Indonesia yang tiap tahunnya memberangkatkan santri dari Indonesia untuk belajar di Mesir— yang membuat beberapa santrinya tidak betah dan ingin segera keluar dari gedung asrama IBBAS tersebut.

Hal itu diperkuat dengan adanya surat pernyataan sikap PPMI Mesir bernomor 02-A20/DP-PPMI/XXVI/VIII/2020 yang diedarkan pada Kamis (13/8/2020) kemarin, yang salah satu poinnya menyatakan, PPMI Mesir tidak ingin ikut campur tangan terkait konflik kepentingan yang ada dalam manajemen IBBAS.

Apa sebenarnya yang terjadi di dalam Pondok IBBAS tersebut? Yayasan yang menyewa satu gedung tinggi untuk para santrinya itu, mengapa sampai banyak santri yang ingin keluar? Berikut beberapa konflik di dalam IBBAS yang telah Informatika rangkum berdasarkan pengakuan dari beberapa santri yang sudah keluar dari IBBAS.

Merasa Diperas dengan Biaya yang Keras

“Iya benar, saya dan teman-teman merasa diperas karena atasan selalu minta uang tambahan ke ortu (orang tua), tapi gak pernah memberitahu kami digunakan untuk apa uang tersebut. Seperti dalam katering, kami sempat melihat Syekh memberi uang (kepada pihak IBBAS) untuk makan, namun tetap saja kita makan makanan seperti itu saja,” ungkap seorang berinisial A.

Si A yang keluar dari asrama IBBAS pada Juli 2020 itu juga mengatakan, salah satu contohnya adalah program Tahfiz yang membayar sekitar USD 150 per bulan. Padahal, Syekh yang membimbing program tersebut tidak datang setiap harinya. Begitu pun Bimbingan Belajar (Bimbel) yang membayar EGP 700 per bulan, namun masih dirasa kurang efektif karena pelajaran yang diberikan terus menerus diulang.

Seorang berinisial M, yang keluar IBBAS pada Maret 2020 bersama teman-temannya, juga membenarkan soal pemerasan ini. Sebab, di awal mula kedatangan di Kairo, mereka dijanjikan biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) sebesar 1,5 juta rupiah tiap bulannya. Namun setelah beberapa lama menikmati aroma Mesir, biayanya melonjak hingga Rp. 4.500.000,00 per orang.

Pernyataan berbeda datang dari seorang berinisial SA yang keluar dari IBBAS pada hari yang sama dengan M, namun berbeda tahun kedatangan di Mesir. SA mengatakan, “Awalnya bilang kan 1,7 juta (sebelum) datang ke sini (Mesir). Ternyata waktu ke sini tuh kita jadi 3 juta, malah sekarang ada 4 juta. Tapi waktu itu Ane keluar masih 3 juta gitu.”

Menurut M, ia bersama teman-temannya merasa bingung dengan perincian dananya, mengapa bisa naik sampai setinggi itu. Mereka pun menanyakan hal tersebut kepada orang-orang di luar IBBAS yang sudah terhitung lama tinggal di Mesir. Tak seperti yang mereka kira, ternyata menurut orang-orang tersebut, 4,5 juta rupiah itu sudah terlalu mahal.

Belum puas sampai di situ, biaya pengurusan visa mereka pun terbilang mahal. Dalam hal ini, ada beberapa pernyataan yang berbeda. Menurut seorang berinisial NS, biaya pengurusan visa mereka sebesar 8 juta rupiah. Sedang menurut NH, biaya pengurusan visa di awal kedatangan mereka mencapai 10 juta rupiah.

Di balik semua itu, NH berpendapat, kalau untuk merasa diperas menurutnya kurang tepat, tetapi memang ada biaya yang dikeluarkan secara tidak wajar. Seperti biaya visa tadi yang mencapai 10 juta rupiah, juga uang bulanan yang mereka keluarkan mahal, tapi tidak memuaskan.

Kegiatan Tak Jelas, Pengeluaran pun Tak Selaras

“Jadi di IBBAS itu kami sering disuruh membayar untuk satu program, padahal program tersebut itu gak jalan gitu. Maksudnya sarana dan prasarana itu gak sesuai dengan yang telah disepakati dan yang telah kami bayar,” ungkap seorang berinisial C yang keluar dari IBBAS pada Maret 2020.

Hal yang sama juga dilontarkan oleh seorang berinisial AY yang keluar IBBAS pada bulan yang sama dengan C. Ia menjelaskan bahwa biaya SPP yang di dalamnya sudah termasuk biaya Operasional, Bimbel, dan Tahfiz, ternyata selalu naik dan dimintakan setiap bulannya. Padahal di bulan tersebut, kegiatan Tahfiz maupun Bimbel tidak terlaksana.

Misalnya, seperti yang diungkapkan oleh M—seorang yang telah disebutkan di atas, suatu ketika mereka pernah diminta membayar uang Tahfiz, padahal kegiatan Tahfiz baru terlaksana 3 bulan setelah pembayaran SPP itu. Begitu juga dengan Bimbel, mereka diminta membayar EGP 700, sedangkan waktu pertemuan belajarnya hanya dua kali dalam seminggu.

Senada dengan M, SA juga menegaskan, sebelumnya mereka dijanjikan pengadaan program  Tahfiz begitu mereka sampai di Kairo. Namun setelah menginjakkan kaki di bumi Kinanah ini, 3 bulan lamanya kegiatan Tahfiz tidak berjalan sama sekali. Bimbel pun seperti itu, baru terlaksana 3 bulan setelah kedatangan mereka ke Kairo.

Kejadian yang sama dialami oleh seorang berinisial B, ia bercerita, “Pokoknya pernah IBBAS itu janjiinnya ada Tahfiz. Nah, Ana itu datang dari bulan September, tapi sampai bulan Januari itu Tahfiz belum ada, dan itu baru mulai (pada) Februari tengah atau akhir gitu, Ana lupa. Dan kita itu sudah bayar dari pertama. Pokoknya gak jelas gitu.”

Akhirnya karena kegiatannya belum juga jalan, B yang merasa gelisah disebabkan tidak ada perkembangan di bidang Tahfiz, meminta kepada orang tuanya untuk ikut kegiatan Tahfiz di tempat lain. Namun setelah berapa lama ikut dan membayar juga di tempat lain itu, kegiatan Tahfiz di IBBAS pun dimulai.

Setelah itu, pengurus IBBAS mengatakan kepada santri-santrinya untuk tetap mengikuti kegiatan Tahfiz di IBBAS meskipun tanpa membayar tagihan yang diajukan sebelumnya. Seketika B dan teman-temannya merasa aneh, lantas bagaimana dengan yang sudah bayar mahal dari awal, jika pada akhirnya mereka digratiskan untuk kegiatan itu?

Beban Fitnah tanpa Klarifikasi Masalah

“Mereka suka ngefitnah juga. Jadi santri yang menurut mereka gak baik itu sering banget difitnah. Dan mereka gak tanya aslinya itu kayak gimana,” ungkap SA kepada Informatika via catatan suara WhatsApp.

SA bercerita, fitnahan yang menimpanya itu berupa foto profilnya yang di-screenshot oleh pihak yayasan IBBAS, kemudian foto tersebut dikirim ke grup wali santri. Yayasan IBBAS lantas langsung mengatakan bahwa SA di Mesir sering jalan-jalan ke kafe, tanpa ada klarifikasi terlebih dahulu terkait kejadian sebenarnya. Padahal menurut SA, ia sama sekali tidak pernah pergi ke kafe, kecuali bersama saudaranya.

Hal yang sama juga terjadi kepada B. Ia difitnah tidak mengumpulkan HP—di IBBAS tidak boleh memegang HP selain hari Jumat dan Sabtu. Padahal, menurut B sendiri, ia selalu mengumpulkan HP-nya. Ketika itu, pihak yayasan IBBAS mengirimkan sebuah foto, yang mana menampilkan B bersama teman-temannya ke grup wali santri dengan mengatakan B tidak mengumpulkan HP-nya. Setelah itu, pihak IBBAS juga meminta kerja sama kepada wali santri untuk sering mengingatkan anak-anak mereka.

Menurut B, ketika itu ia sudah mengumpulkan HP-nya, sedang foto tersebut sebenarnya menggunakan HP temannya ketika ia sedang berkunjung ke rumah temannya itu. Hal ini juga sudah ia jelaskan kepada ibunya dan juga salah seorang pengurus IBBAS. Namun tetap saja, pengurus itu tidak memberikan kejelasan, sehingga membuat wali santri lainnya melarang anak mereka untuk dekat-dekat dengan B.

Tidak hanya sampai di situ, masalah ini juga sempat membuat ibu B marah. Padahal ibunya sudah menjelaskan secara baik-baik kepada pihak yayasannya, tapi tidak membuahkan hasil. Bahkan sebelum pesan terakhir yang ibunya kirim itu mendapat balasan, kontak ibunya langsung diblokir oleh pihak yayasan IBBAS. Pemblokiran seperti ini juga terjadi kepada orang tua A.

“Pihak Yayasan IBBAS juga pernah ngeblokir orang tua saya gara-gara orang tua saya gak mau bayar bimbel. Padahal itu bimbelnya sudah gak wajib, dan sudah gak jalan lagi, tapi Pihak Yayasan masih nagih-nagihin uangnya gitu.”

Selain itu, ada juga beberapa beban lain yang dialami para santri di IBBAS. Misalnya menurut penuturan B, pernah salah seorang Penanggung Jawab (PJ) di IBBAS itu mengatakan sesuatu yang kasar, yang tidak seharusnya dikatakan kepada para santriwati.

Hingga kini Informatika sudah mencoba meminta klarifikasi kepada pihak IBBAS sejak Rabu (26/8/2020), tetapi mereka lebih memilih untuk mengeluarkan Press Release.

“Karena semua yang diberitakan media tidak benar, maka suami (Pembina IBBAS) sedang menyiapkan Press Release resmi secara tertulis, lengkap didukung dengan data-data valid yang kami miliki,” tutur Pihak Yayasan IBBAS kepada Informatika via WhatsApp.

Rencananya Press Release tersebut akan mereka kirimkan kepada Informatika, namun sampai saat ini (29/8/2020), belum ada keterangan lebih lanjut dari pihak IBBAS terkait hal ini.

Reporter: Defri Cahyo Husain

Editor: Muhammad Nur Taufiq al-Hakim

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad