Informatika Mesir
Home Liputan Mendalam  Ijazah Muadalah; Hak Istimewa Penerima Beasiswa al-Azhar asal Indonesia?

 Ijazah Muadalah; Hak Istimewa Penerima Beasiswa al-Azhar asal Indonesia?

Ilustrasi masjid al-Azhar. (Sumber: siedoo.com)

Informatikamesir.net, Cairo — Sebagai salah satu lembaga pendidikan terkemuka dalam menyebarkan paham Islam yang moderat, Universitas al-Azhar Kairo setiap tahunnya senantiasa menganugerahkan beasiswa kepada para calon pembawa panji-panji keilmuan Islam di masa depan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pimpinan Direktur Pengelola Asrama Madinah al-Buust al-Islamiyah, Ibrahim al-Jaari, dalam wawancaranya dengan reporter Akhbarelyom.com pada Oktober 2021 lalu, para penerima beasiswa al-Azhar tersebut berhak menerima tiket pesawat gratis dari negaranya masing-masing untuk dapat menempati Asrama Madinah al-Buust al-Islamiyah di Kairo. Mereka pun nantinya akan mendapatkan berbagai jaminan kebutuhan hidup yang tercukupi, dari mulai tempat tinggal, makanan sehari-hari, hingga dana tunjangan bulanan.

Ia pun mengungkapkan bahwasanya kompleks asrama yang berisikan 36 gedung asrama tersebut kini telah ditinggali oleh kurang lebih lima ribu pelajar asing penerima beasiswa al-Azhar, baik putra maupun putri. Para pelajar tersebut berasal dari 96 negara yang berbeda, Indonesia salah satunya.

Khususnya untuk para penerima beasiswa al-Azhar asal Indonesia ini, sebagian besar dari mereka telah dijanjikan oleh para penyelenggara seleksi beasiswa al-Azhar untuk bisa langsung melanjutkan jenjang studi perkuliahan di Universitas al-Azhar Kairo.

Uniknya lagi, janji seperti itu hanya ditujukan kepada penerima beasiswa asal Indonesia, karena sebagian besar dari penerima beasiswa al-Azhar non-Indonesia tidak bisa langsung melanjutkan jenjang studi perkuliahan di Universitas al-Azhar Kairo. Mereka harus memulai studi dari jenjang Ma’had I’dadi (SMP) dan Ma’had Tsanawi (SMA) al-Azhar Mesir, yang mana dapat memakan waktu hingga 7 tahun.

Jika memang demikian, sebenarnya bagaimana rangkaian kilas balik jalur penerimaan beasiswa al-Azhar asal Indonesia yang sudah terlaksana selama ini? Juga, mengapa hanya penerima beasiswa al-Azhar asal Indonesia saja yang mendapatkan kesempatan untuk langsung melanjutkan jenjang studi perkuliahan di Universitas al-Azhar Kairo?

Beragam Jalur Penerimaan Beasiswa al-Azhar di Indonesia

Menurut pemaparan dari Faoz Almadani selaku Ketua Forum Pelajar Indonesia Buust (FPIB) Kairo periode 2021—2022, sejak tahun 2016 silam, jalur seleksi dan penerimaan beasiswa al-Azhar untuk pelajar Indonesia terbagi dalam empat jalur, yaitu Kementerian Agama (Kemenag) RI, Kedutaan Besar (Kedubes) Mesir untuk RI, Organisasi Ikatan Alumni Al-Azhar (OIAA) Indonesia, dan Pondok Modern Darussalam Gontor.

Ada pun untuk tahun-tahun sebelumnya, jalur yang tersedia hanyalah dari Kemenag RI dan Kedubes Mesir untuk RI. Setiap jalur tersebut memiliki jumlah kuota beasiswa yang beragam dengan perincian kurang lebih 20 orang dari Kemenag RI, 20 orang dari Kedubes Mesir untuk RI, 50 orang dari Pondok Modern Darussalam Gontor, dan 4 orang dari OIAA Indonesia.

Setelah melewati beberapa kali pergantian musim, pada tahun 2018, terjadi beberapa penambahan jalur dan kuota dalam proses seleksi dan penerimaan beasiswa al-Azhar asal Indonesia. Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) menjadi jalur baru penerima beasiswa al-Azhar, disusul oleh Pondok Pesantren al-Ikhlas Ujung Bone di tahun berikutnya.

Ada pun perinciannnya adalah 30 orang dari organisasi NU dan 10 orang dari Pesantren al-Ikhlas Ujung Bone. Menariknya, sejak tahun 2018 juga Pondok Modern Darussalam Gontor mendapatkan kuota tambahan penerima beasiswa al-Azhar sebanyak 30 orang.

Usut demi usut, Januari 2022 lalu, menurut data yang Informatika himpun dari situs resmi Komite Pemberkasan Beasiswa al-Azhar (KPBA), serta pemaparan dari Fajar Ilman selaku Ketua KPBA 2021—2022, ternyata total penerima beasiswa al-Azhar asal Indonesia yang datang ke Mesir adalah sejumlah 144 orang. Mereka ini merupakan para pelajar yang telah lolos seleksi penerimaan beasiswa al-Azhar sejak tahun 2020.

Jika diperincikan, penerima beasiswa al-Azhar tahun 2020 per jalurnya itu: jalur Kedubes Mesir untuk RI sejumlah 28 orang, Pondok Modern Darussalam Gontor sejumlah 79 orang, Nahdlatul Ulama sejumlah 27 orang, dan Pesantren al-Ikhlas Ujung Bone sejumlah 10 orang, sehingga membuahkan hasil yang telah disebutkan.

Seolah ekspektasi tak sesuai realitas, pada tahun 2020 itu, dunia sedang disibukkan oleh penanganan wabah COVID-19, sehingga pihak Kemenag RI kala itu tidak menyelenggarakan seleksi nasional untuk para pelajar yang berkehendak melanjutkan studi ke Timur Tengah, khususnya Mesir.

Oleh karenanya, jalur penerimaan beasiswa dari Kemenag RI juga tidak tersedia, karena memang biasanya, penerima beasiswa jalur ini merupakan para pelajar yang lolos seleksi nasional dengan peringkat 20 terbaik se-Indonesia. Di saat yang sama, Pihak OIAA Indonesia juga tidak membuka jalur penerimaan beasiswa al-Azhar kala itu.

Banyak Pelajar Lolos Seleksi Beasiswa al-Azhar, tapi Tidak Punya Ijazah Muadalah?

Dilansir dari situs resmi Forum Komunikasi Pesantren Muadalah (FKPM), ijazah muadalah merupakan hasil dari penyetaraan silabus dan kurikulum pendidikan yang dilakukan antara pihak sekolah tertentu di Indonesia dengan Ma’had Tsanawi al-Azhar. Kepemilikan ijazah muadalah tersebut sangatlah penting, karena dokumennya merupakan syarat utama dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru di Universitas al-Azhar Kairo, baik mereka yang mengikuti seleksi di Indonesia dengan jalur beasiswa maupun non-beasiswa (mandiri).

Jadi, jika tidak memiliki ijazah muadalah atau yang disetarakan tersebut, maka pelajar yang bersangkutan tidak akan bisa melanjutkan jenjang studi perkuliahan di Universitas al-Azhar tanpa mengawali studi dari tingkat Ma’had I’dadi atau Tsanawi al-Azhar.

Terlepas dari fakta itu, Faoz Almadani menjelaskan bahwasanya mayoritas penerima beasiswa al-Azhar asal Indonesia sudah disosialisasikan oleh para penyelenggara seleksi bahwa nantinya mereka akan dapat langsung melanjutkan jenjang studi perkuliahan di al-Azhar, walaupun tidak memiliki ijazah muadalah dari sekolah asal mereka.

Mereka seolah-olah telah dijanjikan untuk dapat langsung melanjutkan program studi perkuliahan di Universitas al-Azhar Kairo, karena memang sebagian besar dari mereka telah dibekali dengan ijazah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kemenag RI.

Faktanya, ijazah tersebut sebenarnya merupakan hasil muwahhadah (penyeragaman) yang dikonversikan dari banyak ijazah sekolah dan lembaga pendidikan yang ada di Indonesia. Ijazah itu pun sudah mengantongi kesepakatan muadalah dengan Ma’had Tsanawi al-Azhar sejak tahun 2009 silam, sehingga mereka bisa menggunakannya untuk memenuhi persyaratan administrasi perkuliahan di al-Azhar.

Namun sayang, ibarat balita yang masih menghisap jempolnya, para calon peserta seleksi beasiswa al-Azhar yang tidak tahu apa-apa ini lantas mengira bahwa ijazah sekolah mereka itulah yang akan digunakan untuk mendaftarkan diri ke Universitas al-Azhar Kairo, dikarenakan informasi seputar ijazah muadalah yang kurang disosialisasikan.

Kenyataannya, dokumen ijazah yang nantinya akan dipakai untuk administrasi perkuliahan di Universitas al-Azhar Kairo adalah ijazah MAN ber-muadalah yang diterbitkan oleh Kemenag RI dengan mengatasnamakan diri calon penerima beasiswa dalam ijazah tersebut.

Disadari atau tidak, mereka pun bisa memilikinya bahkan tanpa berpartisipasi dalam seleksi nasional yang biasa diselenggarakan oleh Kemenag RI. Pada akhirnya, ijazah sekolah yang mereka bawa dan kumpulkan kepada panitia pemberkasan hanya akan berujung dimakan rayap; tak terpakai untuk administrasi perkuliahan al-Azhar.

Masalahnya, entah karena ketidaktahuan penyelenggara seleksi atau pertimbangan lainnya, banyak dari para penanggungjawab seleksi beasiswa al-Azhar ini yang juga tidak menyosialisasikan konsekuensi besar yang harus dihadapi oleh para pelajar yang tidak mengantongi ijazah muadalah dari sekolahnya masing-masing.

Para penanggungjawab juga sama sekali tidak memberikan imbauan bahwasanya pelajar yang tidak memiliki ijazah muadalah, atau memiliki ijazah muadalah yang kadaluarsa masa berlakunya—layaknya kasus yang dialami 54 penerima beasiswa al-Azhar 2020 jalur Kedubes Mesir, Nahdlatul Ulama, dan Pesantren al-Ikhlas Ujung Bone—harus memulai jenjang studinya di al-Azhar dari tingkat Ma’had I’dadi atau Tsanawi al-Azhar Mesir. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan pemahaman yang diberikan kepada para penerima oleh pihak penyelenggara seleksi beasiswa al-Azhar.

Jika dibandingkan dengan sebagian besar para pelajar yang datang dari negara-negara selain Indonesia, ternyata memang sangat sedikit dari mereka yang dapat langsung melanjutkan program studinya di jenjang perkuliahan Universitas al-Azhar Kairo. Justru sebaliknya, sebagian besar dari mereka hanya bisa memulai studinya di al-Azhar dari jenjang pendidikan Ma’had I’dadi dan Tsanawi.

Hal itu dapat dimaklumi, karena memang sebagian besar dari para penerima beasiswa al-Azhar non-Indonesia tidak memiliki atau dibekali dengan ijazah sekolah yang telah disetarakan dengan Ma’had Tsanawi al-Azhar. Oleh karenanya, mereka harus melewati masa studi selama kurang lebih 7 tahun dari jenjang Ma’had I’dadi dan Tsanawi al-Azhar Mesir.

Masih dengan pernyataan Ibrahim al-Jaari kepada reporter akhbarelyom.com pada Oktober 2021 yang lalu, bahwasanya pihak al-Azhar pada dasarnya telah mengakomodasi program beasiswa bagi para pelajar bahkan sejak jenjang Ma’had I’dadi.

Oleh karenanya, muncullah suatu pandangan bahwa ijazah muadalah bukanlah syarat untuk menjadi penerima beasiswa al-Azhar. Lebih lanjut lagi, peranan penting ijazah muadalah tidak lain dan tidak bukan adalah agar para penerima beasiswa al-Azhar bisa langsung melanjutkan studi ke perkuliahan Universitas al-Azhar kairo, bukan untuk dapat lolos dalam seleksi penerimaan beasiswa al-Azhar.

Reporter: Nur Taufiq

Editor: Defri Cahyo Husain

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad