Informatika Mesir
Home Aktualita Esensi Akulturasi Bugis dan Melayu

Esensi Akulturasi Bugis dan Melayu

Suasana seminar kebudayaan lintas kekeluargaan KKS dan KSMR yang diselenggarakan di Aula Baruga KKS, Hay Asyir. (Sumber: Dok. KKS)

Informatikamesir.net, Kairo — Dalam sebuah seminar kebudayaan yang mempertemukan Kerukunan Keluarga Sulawesi (KKS) dengan Kelompok Studi Mahasiswa Riau (KSMR), kombinasi kebudayaan Bugis dan Melayu kian dijelaskan secara mendalam dan komprehensif.

Tujuan utama diadakannya seminar kebudayaan ini tidak lain adalah terciptanya benang merah yang bisa mengikat dua kekeluargaan tersebut dalam sebuah perpaduan kebudayaan.

Tema acara ini sangat tepat bila disebut dengan “akulturasi kebudayaaan”, karena jika suatu keberagamaan dan kesamaan sejarah bisa dipadukan, maka akan merujuk kepada tanah air yang satu dan berbangsa yang satu.

Andi Ibrahim Nurhidayatullah selaku perwakilan pemateri dari kekeluargaan KKS menjelaskan bahwa substansi dari akulturasi kebudayaan adalah “Ilmu pengetahauan yang ada di dalam pikiran manusia dengan bentuk produk kebudayaan guna mencapai kreatifitas dan kemaslahatan”.

“Untuk apa budaya itu di buang sedang dia bisa menjadi infrastruktur kita,” tuturnya.

Budaya sendiri bisa dimaknai sebagai semangat untuk mempertahankan identitas dan eksistensi dari setiap komunitas manusia yang mendiami suatu wilayah.

Acara yang dipersembahkan oleh kekeluargaan yang masyhur dengan istilah tanah bugisnya dengan kerja sama dari kekeluargaan yang berasal dari pulau nan jauh bernama Melayu ini menarasikan bahwa “Bugisku Juga Bugismu” yang berarti “kita tetap satu”.

 “Analisa dari logika yang tajam dari “Bhineka Tunggal Ika” adalah “Bugisku juga Bugismu, Melayuku bukan Melayuku saja, tapi Melayumu juga, Jawaku juga Jawamu” imbuhnya.

Menurut mereka, peradaban maju adalah peradaban yang berada di perairan. Adapun syarat untuk menjadi sebuah kabupaten (menurut mereka juga) adalah harus dilalui oleh sebuah sungai. Itulah sebabnya simbol lancang kuning adalah sebuah simbol yang mampu mengarungi sungai dan laut.

“Lancang kuning akan tetap hebat di laut Riau. Ayam yang menjadi simbol bagi kekeluargaan KSMR juga akan jago di tanah Bugis,” tegas Andi Ibrahim di awal materinya.

Tak heran jika sebagian besar masyarakat bugis sendiri lebih memilih pesisir pantai sebagai tempat meniti kehidupan sehari-hari mereka dalam memudahkan pemenuhan kebutuhan kesehariannya.

“Bahkan, di Riau pun ada kerajaan yang berdasarkan sungai,” pungkas Anugrah Abiyyu selaku pemateri dari kekeluargaan KSMR.

Abiyyu menambahkan bahwasanya proses akulturasi pasca kemerdekaan Indonesia tidaklah terjadi lagi, meskipun masih ada beberapa kerajaan yang berdiri di wilayah Indonesia.

“Jika berbicara soal kebudayaan, selalu ada komparasinya. Misalnya, dari satu tempat ada dua kebudayaan yang berbeda. Contohnya di Sumatera itu ada Batak, dan Batak itu terpecah menjadi yang utara dan yang selatan,” jelas Abiyyu.

Masyarakat Riau adalah masyarakat yang gemar menetap di satu tempat, berkebalikan dengan masyarakat Bugis yang tidak gemar menetap di satu tempat dan sering  berpindah-pindah. Oleh karena itulah tanah melayu menjadi salah satu sasaran untuk bertransmigrasi.

Hal itu pun mempengaruhi keragaman bahasa di sana yang bahkan mencapai kurang lebih 700 bahasa, hingga lahirlah bahasa khas Melayu Bugis dan semacamnya.

Penampilan musik pada seminar kebudayaan lintas kekeluargaan KKS dan KSMR pada Sabtu (15/2/2020). (Sumber: Dok. KKS)

Abiyyu juga menjelaskan bahwa di wilayah Kerajaan Melayu, jika ada sedikit perbedaan bahasa di sana, keragaman bahasa tersebut dihitung satu macam bahasa sehingga tidak ada komparasinya. Maka pada abad ke 17, datanglah Suku Bugis ke Riau sebagai sebuah akulturasi kebudayan di satu wilayah tertentu.

Menurut fakta sejarah yang ada, akulturasi kebudayaan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia itu berbeda-beda.

“Kalau di tempat lain, kita sudah banyak menemukannya. Contohnya di Jawa Barat itu ada akulturasi Sunda dengan Jawa. Kemudian di Jakarta ada Betawi dengan Sunda. Di Banten itu ada Suku Dalam dan Suku Sunda. Semua pasti ada akulturasi kebudayaan dalam satu tempat,” tegas Abiyyu.

Adapun akulturasi yang ada di wilayah Riau, memang yang paling kental itu adalah akulturasi antara Riau dan Bugis karena Bugis ini datang dengan sendirinya. Berbeda dengan yang lain. Kalau yang lain, didatangkan atau terpaksa datang, kalau di Jawa itu, didatangkan bukan untuk menetap melainkan bisnis,” terang Abiyyu.

Jika kita meninjau latar belakang penyelenggaraan acara ini, pada awalnya, acara ini hanya dimaksudkan sebagai sebuah seminar kebudayaan yang mengkaji kebudayaan Bugis. Setelah melalui berbagai jajak pendapat, lahirlah suatu gagasan untuk memadukan kebudayaan Melayu dengan Bugis.

“Dua kebudayaan ini bisa dipadukan karena memang memiliki ikatan kebudayaan yang kuat baik dari segi ikatan sejarah maupun ikatan emosional,” ungkap Luthfan Ilham selaku ketua panitia pelaksana acara yang dilaksanakan pada Sabtu (15/2/2020) di Aula Baruga KKS, Hay Asyir ini.

Reporter: Nadya Rahma

Editor: Muhammad Nur Taufiq al-Hakim

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad