Informatika Mesir
Home Beranda Drama WIHDAH; The Great Escape

Drama WIHDAH; The Great Escape

Ilustrasi Solusi. (Sumber: Freepik)

Oleh: Muhammad Rayhan, Dewan Pimpinan MPA PPMI Mesir 2019-2020

Akhir-akhir ini, saya rasa hampir semua Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) cukup digemparkan dengan adanya drama yang terjadi dalam proses Pemilihan Umum (Pemilu) Ketua WIHDAH PPMI Mesir 2021. Bahkan, kabar mengenai drama tersebut konon sudah tersebar hingga ke beberapa perhimpunan mahasiswa Indonesia di negara, bahkan benua lain.

Di satu sisi, ini exposure yang cukup bagus untuk WIHDAH PPMI Mesir, yang menurut anggapan sebagian orang “belum nendang”. Paling tidak, kini sudah mulai banyak tatapan mata yang tertuju ke WIHDAH PPMI Mesir, dan apa pun konklusi dari peristiwa ini, siapa pun yang memegang WIHDAH nanti, harus lebih berhati-hati dan mencoba untuk membenahi WIHDAH PPMI Mesir dari berbagai macam sisi, khususnya dasar-dasar peraturannya.

Jika boleh saya sederhanakan, inti dari drama ini adalah adanya pihak yang didiskualifikasi oleh penyelenggara, sedang pihak tersebut tidak menerima keputusan dan alasan dari penyelenggara itu. Meski begitu, saya pikir faktor utama yang membuat drama ini menjadi perhatian publik adalah adanya suara-suara dari pihak yang didiskualifikasi ke publik. Hal yang sejatinya agak saya sayangkan karena jika memang pihak penyelenggara dirasa tidak adil, sepatutnya coba diselesaikan secara hukum terlebih dahulu hingga tuntas, yakni ke Badan Perwakilan Anggota (BPA) PPMI Mesir.

Jika mereka mendapati ketidakadilan, dan memiliki bukti ketidakadilan dari keputusan tertinggi tersebut, maka berbicara pada publik barulah keputusan yang masuk akal, meski dengan tetap menjaga adab-adab dan menjauhi tuduhan-tuduhan dengan maksud framing (red-mengerucutkan sudut pandang) pada publik, yang juga sayangnya terjadi pada drama ini. Jika sudah seperti ini, maka penyelesaian hukum tidak akan cukup, pihak yang terlibat sudah semestinya juga menyelesaikan masalah ini di hadapan publik.

Pandangan Hukum, Berdasarkan AD/ART WIHDAH PPMI Mesir

Sebagai orang yang pernah mengemban amanah legislatif di tubuh PPMI Mesir, saya rasa pada akhirnya saya memiliki kewajiban juga untuk bersuara mengenai hal ini. Belum lagi selama ini saya mendapati narasi yang ada di publik cenderung hanya mewakili salah satu pihak. Saya akan berusaha untuk melihat permasalahan ini dengan objektif, meski saya akan bohong kalau saya mengklaim bahwa saya betul-betul netral dalam masalah ini; setelah saya mempelajari apa yang terjadi, saya memiliki mauqif yang jelas dalam permasalahan ini. Tentu, memiliki kecenderungan tidak berarti seseorang tidak bisa objektif, ‘kan?

Izinkan saya untuk mengulas beberapa kasus kunci dalam permasalahan ini, dari informasi-informasi yang saya dapatkan: Press release pihak nomor urut 02, Pernyataan Terbuka Dewan Perwakilan Anggota (DPA) WIHDAH PPMI Mesir, Press release  nomor urut 01, tulisan-tulisan di media, hingga informasi dari obrolan-obrolan dengan orang-orang yang terlibat secara langsung maupun tidak.

Pertama, kasus pencabutan Surat Keputusan (SK) lolos screening dari DPA WIHDAH PPMI Mesir karena ditemukan persyaratan yang belum lengkap. Untuk melihat permasalahan ini, mari kita lihat satu demi satu status hukumnya. Hal pertama yang perlu diperjelas adalah, apakah DPA WIHDAH PPMI Mesir memiliki wewenang mencabut SK screening yang sudah disahkan? Tidak bisa dipungkiri pertanyaan dasar ini adalah salah satu isu yang paling berkembang di Masisir.

Untuk menjawab hal ini, kita perlu melihat apakah dalam SK lolos screening itu terdapat poin yang melegitimasi hal tersebut atau tidak. Ini menjadi penting karena SK itu disepakati oleh semua pihak yang terlibat; artinya semua pihak sudah membaca dan menyepakati isi dari SK tersebut. Nah, setelah saya melihat SK yang dimaksud, ternyata di sana tertulis cukup jelas bahwa SK tersebut bisa ditinjau kembali jika dibutuhkan. Sehingga keputusan untuk meninjau kembali SK ini dan mencabut legitimasinya adalah sesuatu yang diatur oleh SK itu sendiri dan sah secara hukum.

Bahkan, jika merujuk pada Pernyataan Terbuka DPA WIHDAH PPMI Mesir, di sana disampaikan bahwa pihak mereka sendiri sebelum memutuskan untuk mencabut SK lolos screening melakukan verifikasi terlebih dahulu pada pihak yang bersangkutan, sebelum akhirnya memutuskan untuk mencabut legitimasinya. Padahal, dengan peraturan yang ada, sebenarnya DPA WIHDAH PPMI Mesir sah-sah saja mencabut langsung SK lolos screening tanpa melakukan verifikasi, karena hal ini tidak diatur dalam peraturan apa pun. Maka mengenai hal ini, saya pikir legitimasi hukumnya cukup jelas; keputusan ini sah secara hukum yang berlaku.

Kedua, mengenai alasan diskualifikasi, yaitu Top Leader dan Akhlaq al-Karimah. Terhadap hal ini, saya mendapati ada dua argumentasi yang disampaikan: a) Diskualifikasi hanya boleh dilakukan pada dua kasus saja, yakni anarkisme dan money politic, dan b) Anggapan bahwa pihak 02 merupakan Top Leader adalah keliru, dan menganggapnya tidak berakhlak karimah adalah anggapan liar.

Argumen pertama bahwa diskualifikasi hanya berlaku pada anarkisme dan money politic. Jika kita melihat pada Modul Pelaksanaan Pemilu WIHDAH PPMI Mesir, kita memang hanya akan mendapati kata diskualifikasi pada kasus anarkisme dan money politic, tapi jika pertanyaannya adalah, apakah diskualifikasi itu ‘hanya’ bisa pada dua kasus tersebut? Jawabannya tidak. Di peraturan tersebut tidak pernah tertulis seperti itu, akan tetapi implikasi hukum dari peraturan yang tertulis adalah jika terjadi anarkisme dan money politic, maka dapat didiskualifikasi.

Belum lagi, saya merasa sebenarnya yang terjadi bukanlah sebuah pelanggaran dalam proses Pemilu. Saya melihat yang terjadi adalah tidak lengkapnya persyaratan, dan pihak penyelenggara tidak meloloskan pihak tersebut dalam kontestasi. Jika saya gambarkan, kasus ini seperti sebuah perlombaan Angkat Beban untuk kelas U-15; semua peserta sudah bersiap untuk berlomba, hingga beberapa saat sebelum lomba dimulai, ditemukan satu peserta yang ternyata berumur 20 tahun, maka orang tersebut tentu tidak diperbolehkan untuk mengikuti lomba, ‘kan? Padahal orang tersebut sama sekali tidak melakukan pelanggaran dalam perlombaan (penggunaan doping misalnya), tapi ia tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta.

Kesalahan DPA WIHDAH PPMI Mesir dalam kasus ini, menurut saya adalah penggunaan kata diskualifikasi. Padahal, memang diskualifikasi adalah kata yang memiliki qimah (nilai) di hukum yang berlaku. Saya melihat, ketika mereka mencabut SK lolos screening sebenarnya sudah cukup. Meskipun begitu, secara substansi, saya memandang apa yang dilakukan oleh DPA WIHDAH PPMI Mesir adalah sah secara hukum dalam masalah ini.

Argumen kedua yaitu anggapan mengenai Top Leader dan Akhlak Karimah. Masalah utama dalam kasus ini adalah dua kata itu, yang tidak terdefinisi dalam peraturan. Kasus Top Leader misalnya, dalam modul pelaksanaan WIHDAH PPMI Mesir tidak dirincikan siapa yang dimaksud dengan hal tersebut, begitu juga dalam Tata Tertib BPA PPMI Mesir (asal organisasi Sdr. Septa Rellani). Sehingga masalah ini memang rentan untuk menimbulkan masalah. Akan tetapi, jika kita melihat secara hukum, maka lembaga yang berhak mendefinisikan hal tersebut dalam masalah ini adalah DPA WIHDAH PPMI Mesir, karena peraturan yang ada terkait pemilihan ada di bawah pengawasan mereka.

Celakanya, jika kita melihat AD/ART WIHDAH PPMI Mesir, DPA WIHDAH PPMI Mesir sebenarnya memiliki wewenang utuh dalam membuat kebijakan, tanpa ada kewajiban untuk melakukan musyawarah dengan pihak tertentu. Maka dalam kasus ini, mereka memiliki sebuah definisi dan mau tidak mau pihak yang berkontestasi harus mengikuti definisi tersebut. Dalam kasus ini, yang saya salahkan adalah AD/ART WIHDAH PPMI Mesir dan peraturan Pemilu yang tidak berhasil mengatur regulasi yang lebih utuh untuk mencegah permasalahan ini.

Sementara itu, menurut saya wajar jika pihak Sdr. Septa Rellani memprotes hal tersebut, sebagaimana saya juga mewajarkan keputusan dari DPA WIHDAH PPMI Mesir, yang dalam pernyataan terbukanya mendefinisikan Top Leader sebagai pimpinan. Tapi secara hukum, apa yang dilakukan oleh DPA WIHDAH PPMI Mesir adalah sah, dan saya rasa terkait peraturan-peraturan ini perlu untuk dilengkapi di kemudian hari jika mereka memang serius untuk mengayomi semua pihak dan mencegah permasalahan ini terulang kembali.

Hal ini juga berlaku untuk Akhlak Karimah yang dipermasalahkan. Memang terdapat permasalahan dalam definisi, tapi DPA WIHDAH PPMI Mesir sendiri dalam pernyataan terbukanya cukup jelas menulis mengapa Akhlak Karimah ini menjadi alasan diskualifikasi, bahwa Sdr. Septa Rellani melakukan kebohongan dalam proses (dan juga sudah diakui oleh yang bersangkutan), dan menganggap hal tersebut merupakan bukti bahwa syarat Akhlak Karimah tidak terpenuhi. Sehingga hal itu tentu bukan tuduhan liar yang tak berdasar sebagaimana yang dicitrakan, tapi keputusan yang logis dan juga sah secara hukum. Tapi lagi-lagi, saya kira berikutnya perlu disepakati apa yang dimaksud dengan Akhlak Karimah ini sehingga tidak terjadi kasus yang serupa.

Bagaimana Cara Pemecahan Masalah?

Masih banyak tentu poin-poin kunci yang belum saya tuliskan terkait pandangan hukumnya, tapi satu hal yang pasti—setelah menelaah apa yang terjadi, saya melihat bahwa secara hukum, DPA WIHDAH PPMI Mesir tidak bersalah. Kesalahan mereka terletak pada kegagalan dalam mengukur pandangan publik terhadap apa yang terjadi dan sebuah keputusannya, dan seharusnya kasus ini cukup menjadi pelajaran besar bagi pemangku kebijakan berikutnya untuk juga memperhatikan hal ini.

Lalu bagaimana kita bisa menyelesaikan kasus ini dengan menimbang kemaslahatan sebagai ukurannya? Usulan saya jelas; semua pihak tanazul pada setiap tuntutannya agar berniat menyelesaikan permasalahan ini sesegera mungkin, supaya panitia Sidang Permusyawaratan Anggota (SPA) WIHDAH PPMI Mesir bisa berjalan, dan tim 01 dan 02 bisa sama-sama menyelesaikan amanahnya (dan tidak menghabiskan energi lebih banyak lagi), dan juga semua pihak dapat memasuki bulan Ramadan dengan situasi terbaiknya. Perlu diperhatikan; tanazul sayyiduna Hasan bin ‘Ali adalah kunci terjadinya persatuan kaum muslimin pada tahun yang dikenal dengan ‘am al-Jama’ah (Tahun persatuan).

Ada pun tanazul yang saya maksud; pihak DPA WIHDAH PPMI Mesir bisa mencabut SK Diskualifikasi dan memberikan pihak Sdr. Septa Rellani untuk memenuhi berkas dalam hitungan jam, dan segera melakukan proses pemilihan pada satu hari, atau maksimal dua hari setelahnya dengan tanpa proses kampanye. Sementara pihak Septa Rellani harus meminta maaf atas tuduhan-tuduhan yang disampaikan pada DPA WIHDAH PPMI Mesir dan pencemaran nama baik terhadap mereka di mata publik. Dengan ini, insyaallah, energi yang selama ini habis untuk “berperang” bisa kembali disalurkan untuk kemaslahatan Masisir, khususnya Masisirwati, yang juga tidak bisa dipungkiri selalu dihadapkan pada masalah-masalah yang perlu diselesaikan setiap harinya. Inilah The Great Escape dari drama ini, biidznillah.

Editor: Defri Cahyo Husain

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad