Informatika Mesir
Home Beranda Di Balik Huru-Hara Wisuda PPMI; Sebuah Potret Kegelisahan Masisir

Di Balik Huru-Hara Wisuda PPMI; Sebuah Potret Kegelisahan Masisir

(Sumber: Hadispedia.id)

Oleh: Muhammad Rayhan/Wakil Ketua 1 MPA PPMI Mesir 2019-2020

Selama beberapa pekan terakhir, publik masisir dihebohkan oleh perseteruan antara para stake-holders PPMI Mesir yang berkaitan dengan pelaksanaan Wisuda tahun 2022. Mulai dari Panitia pelaksana Wisuda, Presiden atau DP PPMI Mesir, para wisudawan, bahkan mahasiswa yang baru datang ke Mesir pun dengan berbagai kadarnya masing-masing terlibat dan membicarakan permasalahan itu. Sebagaimana “kearifan lokal” Masisir yang membudaya dan “harus dihargai” (katanya), sebuah konflik biasanya harus berujung pada kesimpulan “siapa yang salah?”.

Sebenarnya tentu tidak ada masalah untuk mengetahui mana yang salah dan mana yang benar, tapi kultur organisasi dan sosial masisir yang sedemikian rupa menghajatkan agar “si pelaku” bukan hanya dihukumi salah, tapi dicari-cari juga kesalahan lainnya, dihujat-hujat, dibunuh karakternya. Hal yang menyedihkan adalah bahwa terkadang pembunuhan karakter ini dilakukan meski sudah ada usaha damai di balik layar yang diusahakan oleh pihak-pihak yang berkonflik. Akhirnya, permasalahan yang sebenarnya bisa selesai dengan “gentleman agreement” malah berujung pada konflik yang tak berujung, dan tidak jarang ditunggangi kepentingan politik tertentu. Betapa menyedihkan.

Di tulisan ini, sebagai seseorang yang pernah terjun dalam dunia legislatif permasisiran, izinkan saya untuk sedikit mengutarakan pandangan saya terkait kasus ini, lalu bagaimana penyelesaian yang ideal, serta apa yang menurut saya pelajaran paling penting dari huru-hara ini. Poin nomor tiga, bagi saya adalah poin utama dari tulisan ini. Poin satu dan dua merupakan usaha saya untuk menyampaikan konteks dan juga mungkin bisa mengimbangi narasi yang berkembang di publik.

Dalam kasus ini, jika saya sederhanakan, “pemain”-nya ada tiga; Panitia Wisuda, Dewan Pengurus (DP) PPMI Mesir, dan para wisudawan. Alih-alih menyampaikan “siapa yang salah” dari peristiwa ini, saya justru ingin menguraikan apa yang menurut saya keliru dari ketiga pemain ini. Karena kesalahan terbesar dari peristiwa ini bukan datang dari satu “pemain” saja, tapi karena konflik ini menjadi huru-hara yang berkepanjangan, sesuatu yang jika masing-masing memainkan perannya dengan bijak seharusnya tidak terjadi.

Pertama, panitia wisuda. Ini merupakan elemen sentral dalam pelaksanaan wisuda. Saya pun berkawan baik dengan para panitia wisuda beberapa tahun terakhir. Untuk memperjelas posisi saya terhadap panitia ini, bahwa selama bertahun-tahun panitia wisuda ini telah membuktikan kapasitasnya dan juga mendapatkan sanjungan dan rekognisi baik oleh Al-Azhar sendiri atau pun mahasiswa non-Indonesia di Mesir lainnya. Saya pun melihat bahwa panitia wisuda terdiri dari orang-orang yang sangat baik eksekusi lapangannya. Akan tetapi, menurut saya, dalam kasus ini, yang sangat disayangkan dari elemen ini adalah bahwa penyelesaian konflik ini terlalu dipublikasikan. Apalagi, beberapa “oknum” dari panitia wisuda ini berperan penting menyalakan “api” di tengah-tengah masisir.

Saya pikir ini sama sekali tidak sejalan dengan nilai-nilai islam dan pancasila yang menjadi dasar pergerakan mahasiswa Indonesia di Mesir. Padahal mekanisme penyelesaian konflik sudah diatur dalam Undang-Undang kita, dan saya percaya mekanisme itu ada memang untuk meminimalisir huru-hara yang terjadi di publik masisir. Karena sebagai mahasiswa kita selayaknya tidak sibuk dengan konflik, apalagi konflik yang tidak ada kaitannya dengan diri kita. Hal ini kemudian membuat api permusuhan yang tidak terkontrol. Belum lagi, kalau kita melihat lebih jauh, mahasiswa Indonesia di Mesir, yang notabene hampir seluruhnya adalah pelajar agama sepatutnya memberikan teladan yang baik dalam permasalahan semacam ini. Bukankah negeri Indonesia sekarang terpolarisasi karena ulah mereka yang menyalakan api permusuhan di tengah masyarakat dengan lisan dan penanya?

Kedua, DP PPMI, khususnya presiden PPMI. Setelah bertanya pada beberapa pihak yang terlibat langsung maupun tidak terlibat langsung. Sebenarnya saya melihat DP PPMI punya alasan yang legitimate terkait kebijakannya. Surat Thalab yang “terlanjur” sampai ke Grand Syaikh tentang ACC bagi saya sebenarnya adalah alasan yang masih bisa diterima jika dikomunikasikan dengan baik pada pihak panitia dan juga publik. Meski demikian, menurut saya, letak kesalahan DP PPMI Mesir ini ada pada komunikasi politik yang buruk, baik terhadap Panitia Wisuda, atau pun publik masisir.

Terhadap panitia wisuda, meski saya tidak tahu secara detail, jika komunikasi politiknya sempurna, saya rasa jika terjadi kesalahpamahaman antara DP PPMI Mesir dan Panitia Wisuda seharusnya tidak sampai mengakibatkan pengunduran diri panitia dan terjadi permasalahan hingga hari ini. Terkadang, kebijakan politik bukan hanya mana yang paling “benar” dan “etis” tapi juga mana yang kemaslahatannya lebih banyak dan seterusnya. Sementara terhadap publik, DP PPMI Mesir yang hanya berdiam diri tanpa memberi klarifikasi setelah huru hara terjadi pun sesuatu yang saya sayangkan, apalagi press release yang dibuat terkesan tidak genuine (tulus).

Sementara kritik saya terhadap pihak wisudawan, permasalahan yang sebenarnya terbatas pada masalah wisuda, sayangnya digunakan oleh sebagian wisudawan untuk narasi yang lebih besar. Ketidakpercayaan pada Presiden dan hal-hal semacamnya pun dipublikasi ke sana dan kemari dan menimbulkan keributan yang semakin tidak terkontrol.  Padahal untuk melakukan ini ada mekanisme yang telah diatur dalam Undang-Undang melalui jalur resmi, tanpa perlu membuat huru-hara di tengah-tengah publik masisir. Sesuatu yang lagi-lagi, merupakan nilai dasar organisasi PPMI Mesir dan pergerakan kemahasiswaan Indonesia di Mesir.

Lalu bagaimana penyelesaiannya? Pertama yang perlu dilakukan oleh aktor-aktor ini adalah untuk menjaga lisan dan tangannya dari menyebarkan kebencian dan api permusuhan di tengah-tengah masisir. Selain melelahkan, hal ini juga merusak nilai yang harus kita sebagai masisir perjuangkan. Selain itu, hal-hal semacam ini akan dinilai wajar dan akan terwariskan pada para aktivis masisir generasi berikutnya. Sesuatu yang menurut saya adalah tragedi yang menyedihkan. Untuk aktivis generasi baru catat: aktivitas penyebaran kebencian bukan budaya yang patut untuk dinormalisasi, ini sesuatu yang harus diubah!

Berikutnya, jika ada pihak-pihak yang memang merasa dirugikan, selesaikanlah dengan sikap ksatria, jalani proses yudikasi yang telah diatur. Jika sudah ada kesepakatan kedua belah pihak maka bermaafanlah dan jangan bawa lagi narasi yang tidak-tidak ke publik. Sungguh ini merupakan sikap pengecut yang nyata. Ini berlaku bagi semua pihak tidak terkecuali.

Hal terakhir yang ingin saya sampaikan adalah bahwa terlepas dari siapa yang paling bertanggung jawab terhadap permasalahan ini, huru-hara ini sebenarnya memotret apa yang keliru dari masyarakat masisir kita; kegelisahan pada hal yang “remeh-temeh”. Coba bandingkan kerusuhan yang terjadi dalam peristiwa ini dengan kerusuhan masisir saat berbicara tentang permasalahan umat islam di seluruh dunia, apakah bisa dibandingkan? Sama sekali tidak. Atau coba bandingkan dengan masisir saat berbicara permasalahan bangsa Indonesia, apakah bisa dibandingkan? Sama sekali tidak. Atau jangan jauh-jauh, bandingkan kegelisahan ini dengan obrolan mengenai nasib masisir yang tidak jarang merupakan teman satu syaqqah kita yang kesulitan secara ekonomi. Sama sekali tidak bisa dibandingkan!

Masisir sebagai sebuah komunitas -yang saya juga di dalamnya- perlu untuk berbenah dan lebih memfokuskan pergerakannya pada kemaslahatan umat, bangsa, dan juga hal-hal pokok dalam masisir itu sendiri. Permasalahan-permasalahan semacam ini, biarlah diselesaikan oleh pihak-pihak yang terlibat, tapi jangan bawa-bawa masisir! Pikiran masisir seharusnya besar, Kegelesihan masisir sepatutnya benar; agar sungai Nil yang telah bersaksi atas kezaliman dan kepahlawanan sepanjang zaman kelak mengingat-ingat mahasiswa Indonesia yang pernah menghapus dahaga dengannya sebagai pahlawan-pahlawan umat dan bangsa. Datang ke Mesir sebagai seorang pelajar yang sederhana, dan pulang ke Indonesia menjadi bintang yang terang benderang.

Editor: Azmi Putra Gayo

Comment
Share:

1Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad