Informatika Mesir
Home Sastra Bintang Meredup Kala Senjaku Hidup

Bintang Meredup Kala Senjaku Hidup

Ilustrasi. (Sumber:abdullah_evindar.ig)

Rona senja kali ini tak seindah dua tahun kemarin. Aku yang tadinya menganggap jingganya adalah sapaan mesra, kini seperti tatapan sinis yang menyisakan luka. Aku tak lagi suka senja. Karenanya, mataku terlena akan dunia. Sesaat saja ia menyapa, aku lupa akan segalanya, akan rindu yang mendekapku dari jauh, serta doa yang menjagaku sepanjang perjalananku menuntut ilmu di negeri Kinanah ini. Tentunya dari sosok bintang yang kini telah redup dari kehidupanku.

Kejadiannya baru 2 tahun yang lalu. Ketika aku dengan lugunya memperturut keinginanku. Saat itu, aku sudah duduk di tingkat akhir kuliah, yang seharusnya tahun depannya aku sudah menyandang gelar ‘Lc’ di belakang namaku.

Seperti kebanyakan Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir), aku terlalu menikmati kehidupanku di sini. Kiriman lancar—aku tak bekerja ataupun membuka usaha di sini karena orang tua menyuruhku fokus pada kuliah.

Banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi, bahkan mirisnya sampai menjalin hubungan yang mereka sebut dengan pacaran bersama seorang mahasiswi asal Malaysia yang lebih muda 2 tingkat di bawahku.

Tidak! Jika kalian berpikir seorang masisir itu tak mungkin terjerat ke dalam lubang kesesatan. Begitulah kala itu, aku benar-benar menikmati kehausanku di tengah-tengah gurun pasir yang tandus. Kelihatannya memang menyenangkan, tapi di balik semua itu, jiwaku sebenarnya merintih kehausan. Namun aku tak sadar, atau bahkan memang pura-pura tidak tahu.

Aku hanya berpikir, aku sungguh benar-benar mencintainya. Sosok senja yang membutakan mataku, seolah semua yang kulihat di dunia ini hanyalah siluetnya. Ia sangat baik, cerdas, dan perhatian.

Pertemuan pertama kita pun terlihat unik menurutku. Kala itu, aku baru saja naik bus dari Awal Sabie menuju Tahrir, tempatku biasanya menikmati senja di sungai Nil, sambil menulis novel yang sedang aku garap.

Di dalam bus, aku melihat hanya satu tempat duduk yang kosong, itu pun di sebelah seorang wanita yang sedang bersandar di jendela bus sambil menutup mata, tidur. Awalnya aku masih ragu duduk di sebelahnya, takut dikira modus (modal dusta) dan sebagainya. Namun karena perjalanan ke Tahrir lumayan jauh, dan aku tidak mau lelah karena berdiri, akhirnya aku memberanikan diri duduk di sebelahnya.

Setelah membayar karcis bus, aku memasang earphone di telinga sambil mendengarkan musik. Selang beberapa lama perjalanan, aku merasakan bahu kananku sedikit berat, ada yang bersandar. Ternyata benar! Perempuan yang sedari tadi duduk di sebelah, kini bersandar di bahuku. Aku terperanjat, seketika kaget. Biasanya kami selalu menjaga jarak dengan lawan jenis di tempat umum seperti ini.

Aku mencoba bersikap seperti biasa, karena aku tahu ia sedang tidak sadarkan diri, alias sedang tidur. Aku ingin membangunkannya, tapi lagi-lagi aku ragu. Mungkin saja ia sangat capek, sampai tertidur pulas di angkutan umum begini.

Aku pun membiarkannya bersandar di bahuku dengan alasan tak mau mengganggunya. Toh, aku tak berniat menyentuh kulitnya, jadi aku pikir boleh-boleh saja. Meski aku tak bisa menyangkal, bahwa jantungku saat itu sedang berdegup kencang. Baru kali ini ada seorang wanita yang tak kukenal, terlelap di bahuku. Apalagi gadis ini sejak awal kuperhatikan memang cantik. Tapi, aku mencoba menahan diriku, dan tetap bersikap seperti biasanya.

Hingga tiba di terminal bus pun, wanita itu masih terlelap di bahuku. Orang-orang sudah turun dari bus, ada beberapa dari mereka yang menatap aneh kami, tapi tak aku hiraukan. Aku memberanikan diri menepuk pelan kepalanya dan berkata, “Neng! Neng! Kita udah sampai terminal, nih.”

Berkali-kali menepuk kepalanya, ia tak kunjung bangun. Terpaksa aku membiarkan hal itu sedikit lebih lama lagi. Sopir nampak sudah turun dari bus. Hanya tinggal kita berdua di dalamnya. Selang beberapa menit aku mulai khawatir jika sampai ada fitnah di antara kita. Namun akhirnya, ia pun terbangun karena mendengar suara orang Mesir yang sedang teriak-teriak di luar. Dalam hati aku berucap syukur, alhamdulillah bisa segera pergi.

Astagfirullahal’azim ….” Terdengar pelan lafaz itu dari mulutnya.

Wanita itu terlihat seperti salah tingkah, pipinya memerah. Ia meminta maaf sambil menundukkan pandangannya, kemudian buru-buru mengambil langkah keluar dari bus itu. Aku takut ia salah paham dengan apa yang terjadi. Akhirnya aku mengejarnya, untuk kemudian mencoba menjelaskan apa yang terjadi.

“Tunggu!” panggilku, setelah turun dari bus, yang tidak terlalu jauh di belakangnya. Ia tak menjawab panggilan itu. Langkahnya makin memburu, aku pun mengejarnya lagi. Saat sudah dekat, aku menahan bahunya.

“Dengerin dulu penjelasanku!” Ucapku dengan tatapan serius.

“Kenape kamu tak bangunkan aku tadi?!” ia sedikit membentak, kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain. Sepertinya wanita ini terlihat malu dengan apa yang telah terjadi.

Mendengar logatnya saja, aku sudah bisa menduga bahwa ia adalah orang Malaysia. Sejenak aku terdiam, mencoba merangkai kata yang mudah dipahami untuk menjelaskan.

“Maafkan aku. Aku takde maksud apa-apa tadi. Aku hanya takut mengganggu tidurmu. Nampaknya kamu penat, sebab tu aku tak bangunkan kamu,” jelasku terbata-bata, mencoba menjelaskan pakai logatnya, meski masih sedikit rancu.

Wanita asal Melayu itu masih diam. Aku berharap saja, semoga ia paham dengan apa yang kukatakan tadi. Ia pun terlihat sedikit mengangguk, meski masih ragu-ragu. Aku tersenyum, lalu memastikan lagi, “Kamu maafkan aku?”

“Aku yang sepatutnya minta maaf. Sebab dah mengganggu ketenangan kamu kat bas tadi. Aku pon nak cakap timo kasih, sebabkan niat baik kamu.” Ia tersenyum. Aku membalas senyumnya dengan anggukan sambil tersenyum balik. Syukurlah ia paham dengan penjelasanku, gumamku dalam hati.

Ia kemudian menjelaskan alasan kenapa bisa sampai terlelap di angkutan umum tadi. Ia mengakui bahwa semalaman ia memang tidak tidur, mengerjakan naskah berita yang harus kejar deadline—ternyata ia seorang penulis juga. Paginya, ia hanya tidur dua jam, setelah itu masuk kuliah dan kegiatan organisasi lainnya. Hingga sekarang, ia berencana mau ke hotel tempat ayahnya menginap selama beberapa hari di sini.

Aku tak banyak bertanya tentang apa yang dilakukan ayahnya di sini, sejak kapan berada di sini, dan sebagainya. Aku hanya penasaran terhadap satu hal saja, siapa namanya?

“Namaku Syafaqunnisa. Panggilan Annisa. Kamu?” seolah tau isi pikiranku, ia langsung mengungkapkan namanya.

“Oh, iya. Namaku Farhan,” balasku.

Hatiku memburu kencang. Seketika, aku terlontar ke dunia khayalan, diuji oleh manisnya senyuman Annisa. Hingga aku terlupa akan kefanaan, lupa akan kebinasaan, dan lupa akan impian. Jiwaku terlelap dalam buaian cinta. Karya surga terukir jelas di mataku. Mengamati. Menerawang. Kemudian bergumam dalam hati, indah … sangat indah!

Saat itu juga, kita telah resmi berteman. Setelah aku memberanikan diri meminta kontaknya, ia dengan senang hati memberikannya, kemudian berlalu seiring kepergian senja yang hampir sempurna.

Sore itu, aku tak sempat menikmati pesona senja di langit, yang biasanya menjadi inspirasi menulisku. Akan tetapi, aku menemukan inspirasi besar yang baru. Seorang Annisa yang berhasil buatku membangun rasa, hingga aku yakin mampu melayani bahasa. Seperti senja, perginya sekejap mata, membawa ribuan asaku yang kuselipakan di bahunya. Senja telah menghilang sempurna. Tapi aku berharap, besok ia kembali, membawa harapan dan hati yang kutitipkan padanya.

***

Namaku Farhan, bisa diartikan kebahagiaan. Tapi sebenarnya, aku tidak benar-benar bahagia, setidaknya saat itu, mengingat penyesalan terbesarku dua tahun yang lalu. Kala itu, aku seharusnya sudah menyelesaikan kuliahku. Ibuku bertanya-tanya kapan aku pulang? Sudah lima tahun sejak kepergianku pertama kali ke Mesir.

Ibu ingin sekali bertemu denganku, kerinduannya memuncak. Namun aku dengan ego tak pernah memahami perasaan ibu. Memang dari awal aku sudah bertekad, tak akan pulang sebelum menaklukkan Al-Azhar. Akan tetapi saat waktunya tiba, aku malah sengaja tidak masuk beberapa ujian agar tidak segera lulus.

Ibu sedikit kecewa mendengar kabar dariku. Ia hanya bisa mencoba memahami berbagai alasan yang aku munculkan karena belum lulus kuliah. Tentunya alasan terbesarku menunda kelulusan adalah Annisa, sosok senja yang saat itu menghiasi kekosongan hatiku.

Deminya, aku rela menunggu sampai dia tingkat empat, agar kita bisa lulus dan wisuda sama-sama. Aku benar-benar diperbudak oleh cinta. Demi sesosok senja, aku membiarkan secercah bintang yang selama ini menemaniku perlahan redup.

Selang beberapa lama setelah itu, aku mendapati kabar bahwa ibuku telah berpulang, meninggalkan kehidupan dunia yang kejam ini dengan tenang. Hatiku terguncang, air mataku berlinang. Aku tak sanggup mengemban penyesalan yang tak mungkin hilang. Sungguh, aku benar-benar jatuh ke dalam jurang. Tak lagi sanggup berjuang, dan hanya bisa mengenang. Menyesal? Itulah hantu yang sampai saat ini membuatku terbayang-bayang.

***

Namaku Farhan. Aku tidak sedang bahagia. Apalagi menatap senja yang saat ini sedang tersenyum ceria. Memandanginya, hanya menjejaki perih di mata. Mengingatnya, hanya membekasi kenangan pahit yang nyata. Aku telah berpaling darinya. Tak kutinggalkan alasan mengapa, sebab aku tak sanggup untuk sekadar menjawab karena.

Ia memang tak bersalah. Hanya saja, dengan mencoba menyalahkannya, setidaknya penyesalanku sedikit terobati. Walau sebenarnya aku tahu, keakuanku adalah kesalahan terbesarku. Sulit untukku berdamai dengan senja. Aku hanya bisa berharap, semoga suatu saat ia akan paham bahwa kepergianku, adalah caraku mengatasi kesedihan akan kepulangan sesosok bintang.

Penulis: D’Shine

Editor: Muhammad Nur Taufiq al-Hakim

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad