Informatika Mesir
Home Kolom Battle of Surabaya dalam Festival Film Apa Adanya

Battle of Surabaya dalam Festival Film Apa Adanya

“Jauh melebihi imajinasi terliar Poe atau Bulwer,” Lovecraft menyindir dua nama besar penulis horor itu dalam cerpennya yang berjudul Dagon. Unik memang, dan gaya tersebut diikuti oleh para sastrawan atau seniman, bahkan di Indonesia. Mereka saling mengkritik karya satu sama lain dengan kritikan yang selalu disertai hasil karya. Seolah-olah mereka berkata, “Karyaku bisa lebih keren dari punyamu, ini buktinya!” Tentunya mereka yang tersindir tidak lantas membalasnya dengan surat edaran resmi kemudian dipasang di pelbagai medsos, tetapi membalasnya kembali dengan sebuah karya, seakan membalas, “Karyaku kali ini bahkan lebih bagus dari karyamu tadi. Ayo, kamu masih bisa membalas gak?”

Begitu juga dengan para sutradara kelas kakap. Dengan gaya khas masing-masing, kita bisa menyaksikan bagaimana Burton selalu menampilkan pesan moral bahkan dalam film-filmnya yang seringkali bernuansa gothik, Nolan dengan tema dan plot yang mindblowing, Spielberg dan Cameron dengan totalitas menghasilkan efek-efek cakep yang disebut-sebut melebihi sutradara lainnya, dan banyak lagi. Mereka selalu berlomba dalam menghasilkan karya yang paling bermutu. Meski nilai sepenuhnya berada di tangan penonton dan kritikus, tapi bukan berarti mereka harus menyerah. Karya yang mereka hasilkan adalah bukti hidup dan tetes darah.
Sama seperti yang diucapkan Mohammad Suyanto, eksekutif produser film Battle of Surabaya pada rentetan Festival Film Indonesia di Kairo, Selasa 22 November lalu. Berapa kali serial animasinya, Petualangan Abdan, ditolak oleh banyak perusahaan televisi, hanya dengan alasan rating. Padahal selama ini, apa siaran televisi yang diputar di layar kaca benar-benar inspiratif dan edukatif? Justru siaran-siaran yang diputar pada hari Minggu belakangan ini, mengajarkan anak-anak bagaimana cara tawuran dan cinta monyet yang benar. Walhasil, ketika Battle of Surabaya mampu menyabet segenap prestasi dan bahkan mampu menarik minat Disney untuk membantu dalam dubbingdan distribusi ke pasar internasional, tentu kita sebagai warga Indonesia patut berbangga. 
Film animasi pertama Indonesia yang diputar di layar lebar ini mengambil latar saat perang hebat berkecamuk di Surabaya, 10 November 1945 dan mengambil p.o.v. dari seorang anak kecil penyemir sepatu bernama Musa. Entah disengaja atau tidak, profesi Musa kecil sebagai penyemir sepatu, mirip sekali dengan Gober kecil pada Life and Times of Scrooge McDuck milik Don Rosa, apalagi mengingat Suyanto akrab dengan karya-karya animasi. Seiring alur cerita, terlihat pula kematangan Musa yang melebihi anak seusianya, tentu karena dia hidup dalam situasi sulit dan mengalami hal-hal yang tidak lumrah untuk seorang anak kecil, persis seperti Gober kecil. 
Tapi bisa jadi, meski tidak terang-terangan berkata bahwa Suyanto adalah penggemar anime, rendering gambar panorama yang cukup halus, seperti mengambil gambar dari lukisan atau foto, sama seperti konsep film-film Hayao Miyazaki dan Makoto Shinkai. Tentu bukan kebetulan jika konsep yang diangkat sangatlah mirip, meski naif jika membandingkan Ghibli Studios atau Comix Wave dengan STMIK Amikom, apalagi dengan peralatan studio teman-teman Yogyakarta yang lumayan sederhana dibandingkan studio-studio di Jepang. Hanya saja, menghasilkan sebuah karya cukup berkualitas dengan memanfaatkan apa saja yang ada, menuntut kreativitas dan keuletan bukan main. Mereka berhasil. 
Alur yang digunakan dalam film ini bisa dibilang maju. Di menit-menit awal, kita menyaksikan bendera Belanda yang dipasang Ploegman dan dirobek bagian birunya oleh militan Indonesia sehingga tersisa warna merah dan putih – warna bendera kita –, tidak terjadi kecuali setelah tanggal 19 September. Adegan selanjutnya juga dengan gamblang menjelaskan bahwa cerita bermula dari tiga bulan sebelum Perang Surabaya terjadi. Terlihat Musa kecil yang sudah kehilangan ayah, bermain dengan orang Jepang bernama Yoshimura dengan sangat akrab, seakan dia bermain dengan ayah kandungnya sendiri. Yoshimura terlihat sebagai seorang warga Jepang yang simpatik atas perjuangan rakyat Indonesia dan memiliki peran krusial. Besar kemungkinan, Yoshimura adalah pengembangan karakter dari Shibata Yoichiro, tokoh Jepang yang terlibat dalam membantu persenjataan para militan Indonesia.
Karakter-karakter yang muncul dalam film tersebut juga cukup mendukung. Suyanto menjelaskan, untuk mengembangkan sebuah cerita, kita membutuhkan sepuluh unsur, yang masing-masingnya diwakilkan oleh setiap karakter dalam film. Sebut saja Danu, karakter hero yang sering kita temukan dalam genre shounen atau film-film laga; Yumna, gadis imut keturunan Indo-Cina sebagai love interest dari Musa dan pilar konflik adanya Bizarre Love Triangle dengan Danu; John Wright, sebagai shadowdalam film ini, musuh utama berhati besi yang nantinya melunak karena kekagumannya pada Musa yang welas asih, dan banyak lagi.
Semua plot cerita dan aspek lainnya dalam film, benar-benar pas tersaji. Scoring musik yang apik, dibawakan oleh tim yang sama dengan pengisi soundtrack dalam film The Raid, sehingga atmosfir ketegangan dalam film sangat terasa. Begitu juga dengan tagline: “There is no glory in war,” yang meski sudah puluhan tahun lalu dipromosikan oleh anime masyhur Mobile Suit Gundam dan sekuel-sekuel setelahnya, pesan tersebut masih bisa dinikmati karena disuguhkan dengan gaya yang berbeda. 
Hanya saja, ada sebuah adegan yang cukup absurd. Urutannya begini, jika adegan tersebut ditampilkan setelah adegan haru pilu ketika Musa kecil membaca surat-surat tentara yang meninggal pada 10 November, lantas ditutup dengan adegan tokoh-tokoh yang seharusnya sudah tenang di alam sana kembali hidup dan tertawa, ditambah orang-orang Jepang, Inggris dan Belanda yang mengibarkan bendera negara masing-masing di atas jembatan Suramadu, benar-benar menjadi adegan yang sangat antiklimaks. Pesan moral untuk keguyuban antar negara memang tersampaikan, tetapi dalam porsi yang melebihi wajar dan mungkin bisa dinikmati jika penontonnya adalah anak-anak saja. Padahal seharusnya ini film keluarga. Pesan masih tetap tersampaikan dalam beberapa adegan sebelumnya, saat John Wright tidak jadi menembak Musa karena Musa pernah menyelamatkan nyawanya, juga saat Musa tua yang memberikan topi nostalgiknya kepada sang cucu, dan si cucu bisa tersenyum lepas. Jika senyum si cucu dan lari riangnya menjadi adegan penutup, sepertinya sudah cukup. 
Beberapa penonton juga sempat mengeluhkan antara judul yang tidak pas dengan film, karena film lebih menyorot Musa dan perspektifnya terhadap peperangan, bukan Perang Surabaya secara langsung. Tetapi jika mereka pernah menonton Pearl Harbor dan Tora! Tora! Tora!, saya yakin mereka tidak akan mempermasalahkan.
Battle of Surabaya hanyalah salah satu film dari rentetan acara FFI di Mesir yang mungkin pantas sebagai promosi kebudayaanJihad Selfie, yang pas dengan dengan isu politik yang merebak di Mesir, perlu ditayangkan di sini terlebih setelah kasus yang menimpa Wildan Mukhallad. Meski sangat disayangkan, seharusnya sebuah acara khusus seperti diskusi atau bedah film, perlu diadakan setelah pemutaran film dengan tema yang super serius seperti Jihad Selfie ini, apalagi jika pasar konsumen yang dituju adalah mahasiswa. Sedangkan Ada Surga di Rumahmu memiliki kelebihan tersendiri karena bintang tamu yang diundang. Kesannya mirip seperti pemutaran film Ada Apa dengan Cinta 2 dan talk show bersama para aktor yang diadakan oleh PPI Belgia tidak lama sebelum ini. 
Pemilihan film-film untuk ditayangkan dalam festival ini dipilih juga pastinya usulan dari sebuah tim kreatif. Memang ini adalah program dari atasan yang diadakan serentak ke beberapa negara sekaligus. Tapi jika dibandingkan dengan event yang sama di Belanda dan menghadirkan film-film Riri Riza seperti AADC 2, Drupadi, Atambua 390 C dan Athirah, tentu Festival Film di sana akan lebih menarik minat massa baik lokal maupun warga Indonesia sendiri, karena film-film itu masih hangat dan nama Riri sendiri sudah cukup masyhur.
Saya menduga, Ketika Cinta Bertasbih dipilih karena latar yang diangkat adalah Mesir, dan itu sangat sesuai dengan lokasi diselenggerakannya festival. Tetapi mengapa KCB pertama yang diputar, bukan sekuelnya? Pastinya mayoritas orang sudah menonton. Jika alasannya adalah ditakutkan penonton bakal tidak ngeh dengan jalan cerita KCB 2 tanpa menonton prekuelnya, saya kira kawan-kawan di Belanda tentu tidak akan memilih AADC 2. Walhasil, testimoni kawan-kawan yang datang pada hari itu sangat bisa diprediksi, mereka ‘terpaksa’ menonton dan sungguh tidak sabar untuk segera menikmati acara Talk Show bersama Kang Abik.
Kedua, Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara yang sudah diulas oleh dua kawan saya. Keganjilan utama dalam film ini adalah plot. Padahal film bertema senada seperti Denias atau Di Timur Matahariyang juga mengangkat pentingnya pendidikan, lebih pantas disuguhkan, dan meski tayang sudah lama, pesan moral dan plotnya kuat terjaga. Begitu juga dengan film Soekarno, garapan Hanung Bramantyo. Meski film ini mengangkat figur presiden Indonesia yang terkenal sangat dekat dengan Anwar Sadat, tetapi karena film ini terlalu banyak mengungkap kepribadian presiden kita dengan terlalu dramatis, imej yang muncul di film malah jatuh berantakan. Khawatirnya, jika impresi yang muncul dari Soekarno malah mengubah paradigma warga Mesir yang turut menonton film, justru FFI jadi bumerang makan tuan, padahal ditayangkan justru di hari terakhir.
Festival Film di Mesir sempat menjadi momen yang dinantikan oleh Masisir, karena besar harapan seluruh film yang diputar (bukan cuma sebagian) adalah film berkualitas, baik dari sinematografi maupun plot, dan film-film indie yang notabene lebih mengedepankan kualitas daripada mengejar konsumsi pasar. Begitu juga film-film tersebut cocok menjadi promosi budaya Indonesia kepada Mesir, tetapi dengan memperhitungkan faktor plus-minusnya dengan sangat matang. Manusia tidak pernah merasa puas dan selalu salah, istilah ‘manusiawi’ muncul gara-gara itu. Namun seorang manusia sebagai makhluk yang sempurna, tentu akan selalu belajar dari kekurangan dan kesalahan. Mirip yang dikatakan Thomas Wayne kepada anaknya, Bruce, di Batman Begins.

Comment
Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ad